Pertalian Mesra Islam dan Jurnalisme di Media Asia Tenggara

Reza Gunadha Suara.Com
Kamis, 15 Maret 2018 | 15:29 WIB
Pertalian Mesra Islam dan Jurnalisme di Media Asia Tenggara
Janet Steele (kelima - kiri) pengarang buku Mediating Islam: Jurnalisme Kosmopolitan di Negara-Negara Muslim berfoto bersama usai melakukan bedah buku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 15 Maret 2018. (Pizaro Gozali/Anadolu Agency)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Selama ini, sebagian besar penelitian mengenai jurnalisme dan Islam sering terfokus kepada negara-negara Arab.

Padahal di Asia Tenggara terdapat dua negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia yakni Indonesia dan Malaysia.

Associate Professor of Journalism di George Washington University Janet Steele telah menghabiskan waktu selama hampir 20 tahun untuk meneliti mengenai jurnalisme dan Islam di Asia Tenggara.

“Lewat jendela jurnalisme, saya bisa menyampaikan kepada Barat tentang dunia Islam karena mereka banyak salah paham kepada Islam,” ujar Janet.

Baca Juga: Batal Gabung PSM, Bobby Satria Ikut Trial Bersama Persib Bandung

Islam dan Jurnalisme

Menurut Janet, jurnalis Muslim di Asia Tenggara memakai pendekatan Islam dalam karyanya. Hal ini berbeda dengan barat.

“Saat saya ke Washington Post dan bertanya apa hubungan jurnalistik dan agama, mereka mungkin tidak mengutip Alkitab,” ujar peraih gelar doktor dalam Ilmu Sejarah dari Johns Hopkins University ini.

Namun, lanjut Janet, sikap para jurnalis di barat berbeda dengan para jurnalis Muslim di Asia Tenggara.

Da lalu menceritakan pengalamannya berinteraksi dengan jurnalis Muslim yang mengutip Surat Al Hujurat ayat 6 tentang perintah meneliti kebenaran suatu berita jika dibawa orang fasik.

Baca Juga: Menhub Akan Lawan Penggugat Aturan Tak Boleh Pakai GPS di Mobil

“Standar jurnalistik Islam lebih tinggi, karena mereka tak bisa menuduh tanpa bukti,” kata Janet.

Janet juga menjelaskan Sembilan Elemen Jurnalisme yang ditulis Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, yang selaras dengan nilai Islam.

Nilai-nilai tersebut, kata Janet, antara lain berani menyampaikan kebenaran dan independen dari penguasa.

Platform media Asia Tenggara

Ada lima media yang diteliti Janet di Asia Tenggara yakni Sabili, Republika, Tempo, Harakah, dan Malaysiakini.

Masing-masing media memiliki platform berbeda.

Sabili menekankan pada nilai-nilai Alquran dan Sunnah. Sedangkan Tempo memperjuangkan keadilan dan independen dari penguasa,” kata Janet.

Tempo, kata Janet, juga menekankan nilai-nilai pluralisme dan pembelaan terhadap minoritas. Sedangkan Sabili mengeksplor isu penindasan terhadap umat Islam seperti di Palestina.

Janet juga menjelaskan banyak kalangan mempertanyakan langkahnya memasukkan Tempo dalam penelitian. Padahal, Tempo bukan media berbasis Islam.

“Saya hanya melihat bagaimana Jurnalistik dan Islam diterapkan di Tempo,” ujar Janet.

Tempo mengusung misi keadilan dan keadilan adalah ajaran Islam,” lanjut penulis buku Wars Within: The Story of Tempo an Independent Magazine on Soeharto’s media ini.

Selanjutnya, Janet mengulas tentang eksistensi Republika.

Menurut Janet, berbeda dengan Sabili yang mencantumkan identitas Islam, Republika mengaku bukan media Islam.

“Tapi mereka media yang melayani komunitas Muslim,” jelas Janet.

Menurut Janet, kejelian membaca ceruk pasar Muslim itulah yang membuat Republika masih bisa bertahan sebagai media cetak hingga saat ini.

“Wartawan Tempo dan Republika mungkin sama-sama menerapkan profesionalisme. Tapi dalam kasus Lady Gaga mereka berbeda karena Republika memiliki basis pembaca Muslim,” terang Janet.

Sementara itu Harakah di Malaysia lebih menonjolkan Islam Politik dalam pemberitannya. Sebab Harakah adalah bagian dari Partai Islam Se-Malaysia (PAS).

PAS terkenal sebagai partai oposisi Muslim di Malaysia.

Harakah mengkritik kebebasan pers di Malaysia karena mereka ingin independen dan mendukung nilai-nilai jurnalisme yang baik,” ujar Janet.

Harakah pun banyak terinspirasi dari Tempo dengan sikap kritisinya kepada penguasa Orde Baru.

Media Islam di Malaysia inipun memiliki kolom “Catatan Ujung” yang terinspirasi dari “Catatan Pinggir” Goenawan Mohamad.

Sebaliknya, lanjut Janet, Malaysiakini menjauhkan diskusi soal agama dari ruang redaksi.

“Mereka sangat sekuler,” jelas Janet.

Terlepas dari dinamika antara media-media di Asia Tenggara, Janet sangat terkesan dengan terminologi dakwah dalam ajaran Islam.

Semangat dakwah itulah yang membuat para jurnalis Muslim melayaninya dengan ramah.

“Saya terharu mereka mau berbagi. Saya banyak belajar tentang dakwah yang luar biasa,” ujar Janet.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI