Suara.com - Tiga anggota peretas "Surabaya Black Hat" dibekuk Polda Metro Jaya pada pekan ini. Komplotan tersebut, tak hanya beroperasi di Indonesia, tapi di puluhan negara.
Bahkan, komplotan tersebut masuk daftar hitam dan diburu oleh Biro Federal Investigasi Amerika Serikat (FBI).
Sebabnya, kata Kasubdit Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Roberto Pasaribu, komplotan ini kali terakhir beraksi adalah meretas sistem komputer dan laman The City of Los Angeles.
"Sistem dan laman ini milik pemerintah kota LA. Menurut data FBI, mereka meretas 3.000 sistem elektronik di sedikitnya 44 negara. Kami menangkap mereka atas informasi FBI," jelas Roberto, Selasa (13/3/2018).
Baca Juga: Palestina Tuntut Donald Trump dan PM Israel di ICC
Ketiga anggota SBH yang dibekuk polda berinisial ATP, NA dan KPS di sejumlah tempat berbeda di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (11/3) akhir pekan lalu.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Komisaris Besar Argo Yuwono mengatakan, ketiga pentolan SBH tersebut masih berstatus mahasiswa.
"Mereka, status pekerjaannya adalah mahasiswa jurusan teknologi informasi. Kami masih memburru tiga anggota lain yang masih buron," ungkapnya.
Argo menuturkan, modus komplotan itu adalah meretas beragam sistem keamanan milik pemerintah maupun swasta secara global, untuk memeras.
Modusnya, kata dia, setelah berhasil meretas sistem keamanan atau data milik perusahaan, pemerintah, atau perorangan, mereka meminta uang kepada korban.
Baca Juga: MU Tersingkir di Liga Champions, Mourinho: Ini Bukan Akhir Dunia
Komplotan itu menerapkan sistem pembayaran digital melalui Paypal atau berupa bitcoin, ketika memeras korbannya.
"(Para pelaku) meminta sejumlah uang melalui metode pembayaran akun PayPal dan Bitcoin, dengan alasan biaya jasa perbaikan sistem yang sudah diretas," jelasnya.
Melalui penangkapan kedua tersangka, polisi menyita barang bukti berupa komputer jinjing, telepon seluler dan modem, yang digunakan para pelaku untuk melakukan aksi kejahatan siber di dunia maya.
Sedikitnya, komplotan itu sukses meretas beragam laman daring pemerintah maupun swasta di negara-negara seperti Indonesia, Uni Emirat Arab, Romania, Uruguay, Hongkong, Kanada, Turki, Iran, dan Korea Selatan.
Selanjutnya, mereka juga beroperasi di Thailand, New Zealand, Pantai Gading, Libanon, Belanda, Portugal, Kepulauan Karibia, Inggris, dan sejumah negara Eropa.
Kemudian, Australia, Brazil, Dubai, Colombia, Italia, Belgia, Maroko, India, Taiwan, Argentina, Chile, Irlandia, Singapura, Rusia, Slovenia, Albania, Nigeria, Swedia, Inggris, Vietnam, Pakistan, Perancis, Spanyol, Bulgaria, Tiongkok, Ceko, dan Meksiko.
Argo mengungkapkan, melalui peretasan sekaligus pemerasan selama setahun terakhir, telah mendapatkan keuntungan hingga mencapai ratusan juta rupiah.
"Pengakuan tersangka, pendapatan yang mereka dapat selama tahun 2017 adalah berkisar Rp50 sampai Rp200 juta per orang," jelasnya.
Bila situs korban sudah diretas, para pelaku meminta uang secara bervariasi. Kebanyakan, uang tebusan itu dipatok para peretas ini berkisar dari Rp15 juta hingga Rp25 juta per satu laman.
"Mereka kirin email untuk minta uang tbusan. Minta uang ada Rp20 juta, Rp25 juta, Rp15 juta itu dikirim via Paypal. Kalau tidak mau bayar, sistem dirusak," ungkapnya.
Dalam kasus peretasan website ini, polisi telah menangkap tiga pemuda berinisial ATP, NA dan KPS. Mereka merupakan anggota inti kelompok hacker SBH. Ketiga pemuda yang berusia 21 tahun ini juga masih aktif sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Surabaya, Jawa Timur.
Ketiga tersangka yang ditangkap dikenakan Pasal 29 ayat 2 Juncto Pasal 45 B, Pasal 30 Juncto Pasal 46, Pasal 32 Juncto Pasal 48 Undang Undang RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi Transaksi Elektonik. Para pemuda ini terancam hukuman pidana 12 tahun penjara dan atau denda maksimal Rp2 miliar.