Suara.com - Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat tidak mau menanggapi desakan yang diajukan banyak akademisi dan sejumlah kelompok masyarakat, agar dirinya menanggalkan jabatan sebagai Ketua lembaga yudikatif tersebut.
Arief menuturkan, tak mau mengomentari hal itu karena khawatir justru membuat kegaduhan. Apalagi MK tengah bersiap menampung pengaduan konflik Pilkada serentak 2018.
"Saya sudah katakan yang lalu, saya tidak akan komentar lagi. Saya tak mau gaduh. MK ini mau menangani pilkada. Nanti kalau saya komentar, gaduh, tak elok," ujar Arief di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Selasa (13/3/2018).
"Indonesia kalau selalu suuzon, gaduh, tak bisa maju. Mari kita melangkah ke depan dengan sebaik-baiknya," lanjut dia.
Baca Juga: Tanpa Diperkuat Pemain Inti, SLNA Yakin Bisa Imbangi Persija
Selama menjabat sebagai Ketua MK, Arief dua kali terbukti melakukan pelanggaran kode etik.
Pada 2016, Arief Hidayat pernah mendapatkan sanksi etik berupa teguran lisan dari Dewan Etik MK.
Arief dianggap melanggar etiket karena membuat surat titipan atau katebelece, kepada Jaksa Agung Muda Pengawasan Widyo Pramono untuk 'membina' seorang kerabatnya.
Kemudian pada 2017, Dewan Etik MK menyatakan Arief terbukti melakukan pelanggaran ringan.
Arief dianggap melakukan pelanggaran kode etik, karena sebelum proses uji kelayakan dan kepatutan terkait pencalonannya kembali sebagai hakim konstitusi di DPR, ia bertemu sejumlah pemimpin Komisi III DPR di Hotel Ayana Midplaza, Jakarta.
Baca Juga: Perbakin DKI Minta Anies Bangun Lapangan Tembak
Menanggapi hal tersebut, Arief meminta wartawan untuk bertanya langsung ke dewan etik yang menangani kasusnya.
"Itu nanti dipelajari sendiri, tanya dewan etiknya. Saya melanggar apa. Apakah saya harus mundur atau tidak tanya dewan etik," tandasnya.