Suara.com - Sepanjang awal bulan ketiga tahun politik ini bisa jadi merupakan pekan bermuatan politis yang tinggi bagi Presiden Joko Widodo. Mantan Gubernur DKI itu mengawali Maret 2018 melalui pertemuan dengan pengurus partai baru Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Pertemuan yang digelar di Istana Kepresidenan Jakarta pada Kamis 1 Maret 2018 itu sempat menuai pro dan kontra yang begitu santer. Presiden dituduh telah menyalahgunakan wewenang dan jabatannya serta menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan politik praktis.
Bahkan ada pihak yang berencana melaporkan pertemuan Jokowi dengan PSI ke Ombudsman.
Jujur saja, barangkali Jokowi pun terganggu dengan tuduhan itu. Namun bukan Jokowi namanya jika tak punya cara untuk meredam serangan lawan-lawan politiknya.
Meski saat menghadapi itu, Sekretaris Negara Pramono Anung mengatasnamakan Istana mengaku tidak mau ambil pusing karena menurutnya, Jokowi tetap pada porsinya sebagai Kepala Negara saat bertemu PSI.
Bagi Jokowi, kata Pramono, pintu istana adalah milik semua, maka partai-partai yang datang ingin bertemu Presiden seluruhnya atas inisiatif sendiri.
Mereka umumnya ingin menyampaikan program-program kerja partai termasuk memberikan dukungan kepada pemerintahan.
Namun Pramono menegaskan, Presiden sama sekali tidak turut serta membahas konsolidasi dan berpolitik praktis dalam pertemuan dengan partai atau tokoh politik di istana.
Partai Lain Seakan ingin meredam kontroversi yang terus timbul, lima hari berselang setelah bertemu partai yang diketuai oleh Grace Natalie itu, Presiden membuka pintu istana untuk dua partai lain.
Pada 5 Maret 2018, di hari yang sama namun berbeda waktu, Presiden Jokowi menerima Komandan Satuan Tugas Bersama Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dan Ketua Umum Perindo Hary Tanoesoedibjo (HT).