Sengketa Lahan Cengkareng, Sandiaga Tunggu Kembalian Rp668 M

Jum'at, 09 Maret 2018 | 20:21 WIB
Sengketa Lahan Cengkareng, Sandiaga Tunggu Kembalian Rp668 M
Wakil Gubernur Jakarta Sandiaga Uno melakukan aktivitas berlari untuk mengawali hari, Jumat (9/3/2018). (suara.com/Ummi Hadyah Saleh)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Wakil Gubernur Jakarta Sandiaga Uno mengatakan, pemprov tengah menunggu uang pengembalian pembelian lahan Cengkareng sebesar Rp 668 miliar dari pihak ketiga.

Sandiaga menuturkan, pengembalian uang itu dilakukan setelah Badan Pemeriksa Keuangan menemukan fakta lahan tersebut milik Dinas Kelautan Pertanian dan Ketahanan Pangan.

"Harus diikuti prosedurnya," ujar Sandiaga di Kawasan Gatot Soebroto, Jakarta, Jumat (9/3/2018).

Karena itu, Sandiaga menuturkan, pemprov tak kompromi perihal adanya korupsi.

Baca Juga: Ini 4 Strategi Finansial yang Perlu Dilakukan Awal 2018

Untuk diketahui, Dinas Perumahan dan Gedung membeli lahan di Cengkareng Barat dari perseorangan yang diketahui bernama Toeti Noeziar Soekarno.

Lahan untuk rumah susun seluas 4,6 hektare tersebut dibeli seharga Rp668 miliar.

Setelah transaksi selesai, BPK menyampaikan temuannya. Rupanya, tanah yang dibeli itu milik Pemprov DKI di bawah kendali DKPKP.

Ternyata, ada dua sertifikat sah dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) terkait kepemilikan lahan tersebut. Satu dimiliki Toeti, satunya lagi milik DKPKP.

Toeti akhirnya menggugat DKPKP ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun gugatan itu ditolak oleh majelis hakim.

Baca Juga: Cara Membuat Kartu Kredit yang Gratis Tanpa Repot!

Dengan demikian, Pemprov DKI berhak melayangkan tagihan senilai Rp668 miliar.

Ihwal sengketa itu adalah pada tahun 2015, ketika Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) masih menjadi Gubernur DKI Jakarta.

Kala itu, pemprov melalui Dinas Perumahan dan Gedung—kekinian bernama Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman—membeli lahan  seluas 4,6 ha di kawasan Cengkareng, Jakbar, senilai Rp668 miliar.

Lahan itu dibeli dari individu bernama Toeti Noezlar Soekarno. Pemprov membeli lahan tersebut untuk lokasi pembangunan rumah susun. Mengenai harga jual, Toeti ketika itu mengakui hanya menerima Rp448 miliar.

Setelah jual-beli selesai, BPK dalam investigasinya menemukan fakta bahwa lahan itu juga terdata sebagai milik DKPKP.

Ternyata, menurut laporan BPK, Dinas Perumahan tak lebih dulu berkoordinasi dengan Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) yang memunyai data bahwa lahan tersebut milik DKPKP.

Lahan tersebut ternyata sudah dimiliki DKPKP sejak tahun 1967. Lantaran tak terurus dan menjadi lahan tidur, perusahaan Sabar Ganda menyengkatannya.

Dalam persidangan Mahkamah Agung, lahan itu tetap dinyatakan sebagai milik DKPKP dengan nomor putusan 1102/pdt/2011. Putusan itu diterbitkan pada 1 Februari 2012.

Tapi persoalannya, setelah putusan MA itu terbit, DKPKP ternyata tak kunjung menyertifikasi lahan tersebut.

Akibatnya, Teoti membuat sertifikat tanah tersebut ke Badan Pertanahan Nasional Kota Administrasi Jakarta Barat.

Toeti lantas menyengketakan lahan itu. Namun, pada 6 Juni 2017, majelis hakim memutuskan perkara tersebut tidak dapat diterima. Artinya, pemprov tetap menguasai lahan tersebut.

Walau menang, BPK tetap menilai ada kerugian negara senilai Rp668 miliar atas pembelian lahan tersebut.

Agar lahan itu bisa dipakai pemprov, terlebih dulu harus ada pengembalian uang tersebut.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI