Sementara dari sudut pandang regulasi, menurut Veri juga tidak dimungkinkan munculnya calon tunggal ‘by design’ alias hasil patgulipat.
"Kalau Capres tunggal by design, itu tidak dimungkinkan. Bagaimana mendesainnya? Misalnya diborong seluruh partai atau tidak seluruh partai, tetapi tidak bisa kemudian muncul dua capres, itu tidak dimungkinkan," tutur Fery.
Ia menjelaskan, alam Pasal 229 ayat 2 UU NO 7/2017 tentang Pemilu, KPU akan menolak pendaftaran yang diajukan oleh kandidat yang menyebabkan terjadinya hanya ada satu orang calon.
"Misalnya Presiden Jokowi, dia mau diusung oleh 10 partai pemilik kursi di DPR, karena mereka yang punya hak untuk mencalonkan. Kalau itu kemudian maju dan mereka datang ke KPU mendaftar, maka KPU akan menolak. Di Pasal 229 KPU diberikan kewenangan untuk menolak calon presiden yang tunggal," kata Veri.
Baca Juga: Gugat Cerai Opick, Istri: Saya Ingin Melanjutkan Hidup
Calon tunggal hanya dimungkinkan terjadi apabila secara alamiah, tanpa ada pemaksaan dari satu pihak.
"Misalnya teman-teman bisa nanti mengecek di pasal 232 sampai 235 UU NO 7/2017. Misalnya calonnya cuma ada dua mendaftar, tapi salah satu calon tidak memenuhi syarat administrasi dan sudah diberikan kesempatan untuk memperbaiki tetapi tidak diperbaiki, maka otomatis calon tunggal," jelasnya.
Bahkan, disebutkan dalam Pasal 235 ayat 6, apabila pendaftar calon presiden hanya satu pasangan, maka KPU memberikan waktu dua pekan untuk memperpanjang masa pendaftaran. Pasal tersebut dimaksudkan untuk menunggu munculnya pasangan kandidat lain.
Dalam tempo waktu itu tidak ada pasangan kandidat lain yang mendaftar, KPU akan menutup pendaftaran dan melangsungkan pilpres dengan calon tunggal.
"Jadi kalau secara alamiah itu dimungkinkan. Tapi kalau by design, memborong dukungan dan sebagainya itu agak sulit," tandasnya.
Baca Juga: Masuk Tahun Politik, Luhut Minta Investor Tak Takut 'Tanam Uang'