Suara.com - Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mendapat tujuh temuan tren kekerasan yang berkembang sesuai konteks dari tahun ketahun.
“Itu merupakan catatan pendokumentasian berbagai kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani baik oleh 237 lembaga negara maupun lembaga masyarakat serta pengaduan yang langsung datang ke komnas perempuan,” ujar Ketua Komnas Perempuan Azriana, di kantor Komnas Perempuan, Jakarta Pusat, Rabu (7/3/2018).
Berdasarkan Catatan Akhir Tahun (Catahu) 2018 Komnas Perempuan, tujuh temuan tersebut ialah ;
1. KDRT, Femicide, Poligami, dan Perkawinan Anak.
2. Kekerasan terhadap perempuan (KtP) berbasis Cyber.
3. Incest.
4. Pelaku kekerasan seksual diranah personal, ada tiga kategori tertinggi yaitu: Pacar 1.528 kasus, Ayah Kandung 452 kasus, dan paman 322 kasus. Itu dari kategori pelaku.
5. Konflik Sumber Daya Alam dan Pemiskinan.
6. Perempuan masih menjadi sasaran yang disalahkan, dibully termasuk dalam konteks perselingkuhan, poligami dan kejahatan perkawinan lainnya, sementara pelaku lolos dari penghakiman.
7. Politik populisme sudah menawan isu-isu krusial menjadi jalan di tempat atau bahkan kemunduran dalam penanganan isu pelanggaran HAM masa lalu atau semakin buruknya isu-isu HAM perempuan yang dipolitisasi atau dianggap mengganggu moral mayoritas seperti minimnya suara mencegah persekusi pada minoritas agama, minoritas seksual, politisasi isu perzinahan yang tidak bisa dibedakan dengan kekerasan seksual dan lain-lain.
Dijelaskan Azriana, kekerasan terhadap perempuan berbasis cyber adalah kekerasan yang muncul kepermukaan dengan massif, namun kurang dalam pelaporan dan penanganan.
“Dampak dari kejahatan cyber inj dapat menjatuhkan hidup perempuan, menjadi korban berulang kali, bahkan seumur hidup,” ujarnya.
Adapun jenis KtP dunia maya yaitu, pendekatan untuk memperdaya, pengiriman teks untuk menyakiti /mengancam/menakuti/mengganggu, peretasan, pelanggaran provasi, ancaman distribusi foto atau video pribadi, penghinaan dan pencemaran nama baik, hingga rekrutmen online.
Selain itu, kasus incest dengan pelaku ayah kandung atau pelecehan seksual anak dibawah 5 tahun menjadi PR terbesar negara dan bangsa Indonesia untuk merespon situasi kekerasan yang ekstrim ini.
Azriana mengatakan walau pun sudah ada penghukuman yang ditunjukan untuk menjerakan publik melalui perpu kebiri, tapi tidak banyak mengubah darurat kekerasan seksual yang ada.
“Ini menjunjukan ada diskoneksi analisa negara terhadap penyebab kekerasan seksual dengan penanganannya,” tandasnya.