Suara.com - Parade Juang Perempuan Indonesia, koalisi 63 organisasi dan LSM untuk aksi peringatan Hari Perempuan Internasional 2018, menilai kaum perempuan masih terdiskriminasi dalam dunia industri.
Diskriminasi itu bersumber pada pemberlakuan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan perangkat teknisnya, yakni PP No 78/2015.
Akibatnya, Ketua Umum Federasi Buruh Lintas Pabrik Jumisih, terjadi upaya pemiskinan secara struktural terhadap perempuan buruh perempuan di Indonesia. FBLP adalah satu dari puluhan ormas yang tergabung dalam koalisi aksi HPI 2018.
“Ada persoalan ketidakpastian kerja, ini menggerogoti buruh-buruh perempuan terutama di industri garmen, juga di industri lain. Ini menjadi persoalan besar,” kata Jumisih dalam konferensi pers mengenai aksi HPI di kantor LBH Jakarta, Selasa (6/3/2018).
Baca Juga: Wiranto: Ba'asyir Dapat Fasilitas Antar Jemput Helikopter
Wakil Ketua Umum Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia ini menjelaskan, ketidakpastian kerja tersebut disebabkan sistem kerja alih daya (outsourcing) dan buruh harian lepas, yang diatur UU No 13/2003.
Perempuan buruh, kata dia, mayoritas direkrut oleh perusahaan-perusahaan melalui kedua sistem tersebut.
Alhasil, selain rentan menjadi korban PHK sepihak, perusahaan juga tak bertanggung jawab atas fasilitas jaminan sosial dan kesehatan terhadap perempuan buruh.
Tak hanya itu, Jumisih menuturkan, kedua sistem kerja tersebut juga menyebabkan praktik upah murah.
“Artinya, perempuan buruh kekinian mayoritas bekerja dengan upah di bawah standar minimum provinsi maupun kota. Dalam penilaian kami, inilah upaya pemiskinan yang direncanakan oleh negara,” tandasnya. [Priscilla Trisna]
Baca Juga: Berkamera Depan 20 MP, Infinix Hot S3 Dibanderol Rp1,8 Juta