Suara.com - Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengklain perempuan itu rentan dicurangi. Baik internal partai maupun eksternal partai.
Titi menyebutkan kebanyakan yang internal itu laki-laki karena, kecenderungan yang berani adalah laki-laki. Selain itu, laki-laki lebih lama beradaptasi di dunia politik.
“Belum lagi ditambah dengan problem penegakan hukum kita dapat mencurangi politisi perempuan,” ujarnya, di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat, Senin (5/3/2018).
Kalau penegakan hukum kita, ujarnya, bukan hanya masalah perempuan akan tetapi masalah laki-laki dan perempuan. Mulai dari praktik politik uang, praktik politik transaksional.
Perempuan ini identik dengan politik etis. Jadi dia berkompetisi masuk politik, kaderisasinya tidak berjalan, namun diiming-imingi menang lalu kemudian dicurangi namun mereka tidak berani melaporkan.
Jadi ini berkelindan. Termasuk komitmen partai yang belum sepenuhnya utuh terhadap keterwakilan perempuan.
Kaderisasi yang masih belum melembaga terhadap rekrutmen caleg perempuan. Ditambah pendanaan juga masih menjadi kendala besar bagi perempuan. Disertai penegakan hukum kita yang masih belum bisa berkontribusi pada kompetisi yang fairplay.
“Perempuan, kalau sudah terkena politik uang, dia bertubi-tubi terhambat aksesnya,”jelasnya.
Bagi laki-laki, menurut Titi, mungkin politik uang juga menjadi problem yang serius. Tetapi bagi caleg perempuan, dia mengalami dampak yang bertubi-tubi karena dia sudah mengumpulkan suara dan dia sudah berusaha menerapkan politik etis.
Tetapi ketika dia berusaha mempraktekkan politik etis, dia sudah berusaha berkampanye dengan benar, namun ketika dia dicurangi dia tidak melakukan langkah-langkah untuk melaporkan dan memproses pelanggaran itu. Dia cenderung mendiamkan.
“Oleh karena itu ia menjadi objek kecurangan bertubi-tubi lantaran apabila dia dicurangi, maka paradigmanya adalah nanti gak berani melapor atau dengan alasan tidak mau ribut. Karena politik etis yang melabel pada perempuan ini,” kata dia.