Jogja dan Epos Revolusi Kemerdekaan yang Berawal dari Dapur

Reza Gunadha Suara.Com
Jum'at, 23 Februari 2018 | 17:09 WIB
Jogja dan Epos Revolusi Kemerdekaan yang Berawal dari Dapur
Sebuah pertempuran pejuang bersama TNI melawan pendudukan belanda pasca Agresi Militer Belanda II terjadi di halaman Benteng Vredeburg, Yogyakarta, Minggu (01/03/2015). Pertempuran itu merupakan bentuk drama treatrikal yang persembahkan oleh komunitas penggiat sejarah Djokjakarta 1945 dengan melibatkan sejumlah penggiat sejarah dari berbagai kota di Indonesia dalam rangkaian peringatan ke-66 Serangan Umum 1 Maret 1949. [JIBI/Harian Jogja/Desi Suryanto}
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Yogyakarta menjadi kota yang tak bisa dipisahkan dari epos perang patriotik atau Revolusi Kemerdekaan RI tahun 1945. Pada kota itu, perpaduaan strategi perang gerilya dan diplomasi kaum republiken dirancang. Tapi, siapa sangka, strategi revolusi tersebut berawal dari dapur.

Semasa perang revolusi di tahun 1945-1949, dapur umum di Kota Jogja memiliki peranan yang cukup penting.

Dapur umum tak hanya berfungsi menyediakan makanan bagi para serdadu, tapi juga sebagai tempat bertukar informasi, merawat peralatan perang dan merencanakan serangan.

Hal tersebut disampaikan Sri Retna Astuti dari Balai Pelestarian Nilai Budaya DIY dalam seminar sejarah bertema “Peran Dapur Umum pada Masa Revolusi” di Sekar Kedhaton Restauran, Kotagede, Kamis (22/2/2018).

Baca Juga: Rizieq Masuk Bursa Capres, Tapi Kalah dengan Ahok

Seminar ini diselenggarakan Dinas Kebudayaan Kota Jogja demi peningkatan wawasan sejarah.

Menurut Sri, dapur umum pada masa yang bergejolak itu memiliki beragam fungsi, antara lain, sebagai tempat komunikasi antara pejuang untuk mengetahui posisi Belanda.

Selain itu, di dapur umum lah para gerilyawan republiken menyimpan dan memelihara persenjataan.

Dapur umum juga menjadi tempat menyampaikan informasi tentang waktu dan tempat mengadakan serangan, serta sebagai tempat istirahat yang aman bagi pejuang.

“Dapur umum pada masa revolusi merupakan salah satu partisipasi masyarakat dalam rangka ikut mempertahankan kemerdekaan. Tentara jadi tak perlu memikirkan logistik. Melalui dapur umum, para wanita dan remaja merasa ikut berjuang, meskipun di garis belakang,” ucap Sri seperti diberitakan Harian Jogja—jaringan Suara.com.

Baca Juga: Indonesia Jadi Negara Terkorup Nomor 96 di Dunia

Ia menambahkan, pada waktu Belanda menduduki Kota Jogja, keberadaan dapur umum tidak banyak ditemukan dan sering berpindah-pindah.

Selain untuk menghindari kecurigaan dari Belanda, hal itu dilakukan demi meringankan beban masyarakat.

Akhirnya, lanjut Sri, beberapa keluarga yang berdekatan berbagi tugas. Ada yang memasak nasi, memasak sayur atau memberikan minum.

Seluruh masakan kemudian diserahkan ke markas dapur umum yang dikoordinir oleh Ruswo, yang menempati rumahnya di Jalan Yudonegaran, dan dibantu oleh Atikah Hadikusumo dan Tatiek Hariati.

“Antara dapur umum di kota dan luar kota tidak saling berhubungan. Namun demikian pasukan yang berada di luar kota seringkali mendapat kiriman makanan dari kota yang dibawa kurir,” imbuh Sri.

Kasi Sejarah Dinas Kebudayaan Kota Jogja Tri Sotya Atmi mengatakan, dapur umum tak hanya melayani kepentingan para pejuang, tapi juga menyediakan makanan bagi pegawai negeri yang tidak dapat pulang karena adanya halangan.

Pada masa itu, sambungnya, hampir segala kegiatan sering terhenti. Seluruh rakyat selalu dalam keadaan siaga. Toko-toko sering tutup selama berhari-hari, begitu pun lalu lintas.

“Dalam keadaan demikian, dapur umum yang dikelola oleh WANI [Wanita Negara Indonesia], bukan saja menyediakan makanan bagi para pejuang, tetapi juga berperan sebagai pos republik.”

Berita ini kali pertama diterbitkan Harianjogja.com dengan judul “Di Masa Revolusi, Dapur Umum Jadi Tempat Menyusun Strategi

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI