KPA Akui Kriminalisasi Rentan Terjadi di Wilayah Ekspansi Bisnis

Kamis, 22 Februari 2018 | 07:07 WIB
KPA Akui Kriminalisasi Rentan Terjadi di Wilayah Ekspansi Bisnis
Ribuan massa menggelar unjuk rasa di kawasan Silang Monas, Jakarta, Rabu(27/9).
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Konsorsium Pembaruan Agraria mengatakan bahwa kriminalisasi rentan terjadi di wilayah-wilayah yang menjadi target ekspansi perkebunan, ESDM dan perhutanan komersial serta pembangunan infrastruktur.

“Namun, hal ini tidak terbatas pada kepentingan pragmatis perekonomian saja. Kriminalisasi terjadi ketika pemerintah dan aparat penegak hukum abai pada prosedur, tipis keberpihakan, serta minim kompentensi,” ujar Sekjen KPA, Dewi Kartika, di gedung YLBHI, Jakarta Pusat, Rabu (21/2/2018).

Ia mengatakan hal tersebut dapat terlihat dari keterbatasan penyusun RKUHP untuk mengantisipasi potensi kriminalisasi dalam naskah RKUHP. Demikian pula, minimnya pemahaman negara yang menangkap dan menahan tiga petani Soppeng, Sulawesi Selatan dengan tuduhan merusak kawasan hutan.

Padahal, jelasnya, ketiga petani tersebut lahir dan besar di kawasan hutan serta sehari-hari mencari nafkah dilokasi yang sama. Pemerintah dan aparat penegak hukum juga melakukan kriminalisasi terhadap dua masyarakat Agam karena menebang pohon di atas tanah ulayatnya sendiri.

Empat orang masyarakat adat Semende Banding Agung di Kabupaten Kaur Bengkulu harus mendekam selama tiga tahun karena dijerat dengan UUP3H. Begitu juga yang terjadi pada Bachtiar bin Sabang di Desa Turungan Banji Sinjai yang divonis hakim selama 1 tahun kurungan penjara serta denda Rp500 juta.

Seharusnya negara berpedoman pada putusan MK No.95/PUU-XII/2014 tentang uji materi UU no.41 tahun 1999 dan UU P3H yang menyatakan bahwa ketentuan pidana tidak boleh diberlakukan pada masyarakat yang hidup secara turun temurun dalam kawasan hutan dan tidak untuk kepentingan komersil. Dari sisi pembentukan peraturan perundang-undangan, negara patut memperhatikan UU no.12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan bahwa ketentuan pidana dalam UU atau peraturan daerah sifatnya hanyalah “bila diperlukan”.

“Artinya, tidak ada kewajiban bagi undang-undang ataupun perda mencantumkan pidana,” katanya.

Dari dokumentasi kasus yang tercatat di KPA, Walhi, Kontras, YLBHI, Soliper, dan AMAN dapat ditarik pola umum yang terjadi pada kriminalisasi tersebut.

Selain itu, Ketua Soliper Puspa Dewi juga menjelaskan jika dari berbagai konteks, perempuan mengalami dampak berlapis dari kriminalisasi. Kontruksi sosial yang menempatkan perempuan sebagai penjaga moral juga stigma, diskriminasi, pengucilan, kekerasan dan marjinalisasi terhadap perempuan yang dianggap melanggar peraturan yang terjadi mulai dari tingkat keluarga, komunitas hingga masyarakat.

“Apalagi, kriminalisasi terhadap perempuan seringkali bersumber pada kebijakan maupun praktik sosial yang menyasar tubuh dan ruang gerak perempuan dengan mengatas namakan agama dan kralitas,”jelas Puspa Dewi.

Hal tersebut, lanjutnya, mengakibatkan perempuan kehilangan sumber mata pencaharian dan tidak bisa mengakses ruang-ruang publik, termasuk ruang sosial perempuan dan ruang pengambilan keputusan.

Tak hanya itu, perempuan pun kerap dilekatkan dengan peran penjaga keluarga dan komunitas sehingga turut mengalami beban dan ketidak adilan berlapis ketika keluarga, suami, atau ayahnya mengalami kriminalisasi.

Angka terbesar untuk sektor kriminalisasi bersumber dari kasus masyarakat adat seperti disebutkan oleh Ketua YLBHI Asfinawati, tertundanya pengesahan RUU masyarakat adat di DPR RI membuat
Permasalahan yang menimpa masyarakat adat terus bertambah.

Tidak adanya payung hukum khusus justru melanggengkan praktek kriminalisasi oleh negara untuk melemahkan penolaka. Masyarakat adat terhadap proyek-proyek besar diatas wilayah adatnya. Seringkali pula korban kriminalisasi adalah kepala adat atau orang yang sangat berperngaruh di gerakan masyarakat adat. Nasional Inkluiri Komnas HAM (2014) adalah salah satu bukti kuat adanya pelanggaran atas hak-hak masyarakat adat.

Asipfinawati juga menyampaikan jika hukum acara pidana mempermudah kriminalisasi itu terjadi. Pada masa penyidikan antara lain terbatasnya due process of law bagi persengketaan, keterangan di luar sidang yaitu BAP yang di jadikan bukti hingga membuka ruang penyiksaan, masa penahanan yang lama dan tidak adanya due process of law tentang perlunya penahanan ini.

“Persoalan ini, diperparah karena penuntut bukan pegendali perkara (dominus litis). Hak ini menyebabkan bolak baliknya perkara antara penyidik dengan penuntut dan lebih parah daripada itu, adanya orang yang ditahan tetapi tidak pernah diajukan ke pengadilan,” jelasnya.

Hal tersebut kontras dengan permosisian elit politik sebagaimana diperlihatkan dalam UU MD3, dimana mereka merasa berhak untuk mempidanakan pengkritiknya. Namun aparat penegak hukum wajib meminta izin Presiden apabila hendak memeriksa anggota DPR. Sikap tersebut menunjukan betapa gemblangnya elit memproteksi diri dan kroninya ketika berhadapan dengan hukum, tetapi bersikap sebaliknya ketika masyarakat menjadi korban.

“Apabila kelompok buruh perkebunan yang mogok kerja dan petani menuntut haknya ynag diserobot korporasi dianggap melakukan tindakan kriminal, kepada siapa sebetulnya keberpihakan aparat penegak hukum Indonesia? Ketika perempuan korban kekerasan seksual dihukum karena dianggap berzina, bukankah berarti ada yang perlu dikoreksi?,” katanya.

Tak layak seorang perempuan berusia lebih dari 90 tahun dijatuhi hukuman penjara karena menebang pohon sebagaimana tak pantas petani yang lahir dari mencari nafkah di hutan, kemudian ditahan karena tindakannya tersebut.

“Dalam hingar bingar politik elektoral yang kian tak terdengar, kami merasa perlu menunjukan sikap dan keberpihakan pada mereka yang kian tepinggirkan suaranya. Angka-angka yang kami kutip hanya refleksi betapa dalam dan luasnya jangkauan kriminalisasi bagi sesama,” katanya.

Maka, perlu ada langkah jelas, terukur dan masiv untuk mencegah jatuhnya lebih banyak korban kriminalisasi karena minimnya keberpihakan serta rendahnya pemahaman pemerintah akan permasalahan yang dihadapi publik sehari-hari.

“Pemerintah sepatutnya malu apabila perempuan korban kekerasan alih-alih terpulihkan haknya sebagai korban justru terjerumus dipidana karena dianggap bersalah,” katanya.

Berdasarkan data dan pertimbangan, maka pihak dari YLBHI, KPA, PSHk, AMAN Solidaritas Perempuan, Kontras dan beberapa organisasi lainnya mendesak pemerintah agar pemerintah melalui aparatnya untuk:

1. Menghentikan segera bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat laki-laki mau pun perempuan yang sedang memperjuangkan hak-haknya.
2. Menggunakan alternatif penyelesaian sengketa di luar instrumen negara, mengedepankan HAM termasuk hak perempuan dalam penyelesaian konflik agraria, mengedepankan sikap persuasif dan akomodatif, serta inklusif, sensitive dan responsive.
3. Melakukan moratorium pembentukan perturan perundang-undangan yang mencantumkan sanksi pidana. Baik di tingkat pusat maupun daerah.
4. Meninjau ulang dan mencabut beberapa peraturan perundang-undangan dan pasal-pasalnya yang bermasalah dan berpotensi memidanakan masyarakat serta mendiskriminasi perempuan.
5. Mendorong diterimanya bab pemeriksaan peendahuluan kedalam Rancangan KUHAP, mencegah semakin besarnya peluang kriminalisasi di rancangan KUHAP.
6. Menurunkan pasal 66 UU no.32 tahun 2009 tentang lingkungan hidup kedalam bentuk peraturan presiden.
7. Menghentikan tindakan represif aparat dan perlibatan polisi dan TNi dalam penanganan konflik agraria struktural
8. Mendorong pemberian grasi, amnesti, dan abolisi bagi masyarakat adat/lokal korban kriminalisasi.
9. Memastikan adanya pemulihan dan reintegrasi bagi perempuan korban kriminalisasi, baik pemulihan secara materil dan immateril.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI