Hal tersebut, lanjutnya, mengakibatkan perempuan kehilangan sumber mata pencaharian dan tidak bisa mengakses ruang-ruang publik, termasuk ruang sosial perempuan dan ruang pengambilan keputusan.
Tak hanya itu, perempuan pun kerap dilekatkan dengan peran penjaga keluarga dan komunitas sehingga turut mengalami beban dan ketidak adilan berlapis ketika keluarga, suami, atau ayahnya mengalami kriminalisasi.
Angka terbesar untuk sektor kriminalisasi bersumber dari kasus masyarakat adat seperti disebutkan oleh Ketua YLBHI Asfinawati, tertundanya pengesahan RUU masyarakat adat di DPR RI membuat
Permasalahan yang menimpa masyarakat adat terus bertambah.
Tidak adanya payung hukum khusus justru melanggengkan praktek kriminalisasi oleh negara untuk melemahkan penolaka. Masyarakat adat terhadap proyek-proyek besar diatas wilayah adatnya. Seringkali pula korban kriminalisasi adalah kepala adat atau orang yang sangat berperngaruh di gerakan masyarakat adat. Nasional Inkluiri Komnas HAM (2014) adalah salah satu bukti kuat adanya pelanggaran atas hak-hak masyarakat adat.
Asipfinawati juga menyampaikan jika hukum acara pidana mempermudah kriminalisasi itu terjadi. Pada masa penyidikan antara lain terbatasnya due process of law bagi persengketaan, keterangan di luar sidang yaitu BAP yang di jadikan bukti hingga membuka ruang penyiksaan, masa penahanan yang lama dan tidak adanya due process of law tentang perlunya penahanan ini.
“Persoalan ini, diperparah karena penuntut bukan pegendali perkara (dominus litis). Hak ini menyebabkan bolak baliknya perkara antara penyidik dengan penuntut dan lebih parah daripada itu, adanya orang yang ditahan tetapi tidak pernah diajukan ke pengadilan,” jelasnya.
Hal tersebut kontras dengan permosisian elit politik sebagaimana diperlihatkan dalam UU MD3, dimana mereka merasa berhak untuk mempidanakan pengkritiknya. Namun aparat penegak hukum wajib meminta izin Presiden apabila hendak memeriksa anggota DPR. Sikap tersebut menunjukan betapa gemblangnya elit memproteksi diri dan kroninya ketika berhadapan dengan hukum, tetapi bersikap sebaliknya ketika masyarakat menjadi korban.
“Apabila kelompok buruh perkebunan yang mogok kerja dan petani menuntut haknya ynag diserobot korporasi dianggap melakukan tindakan kriminal, kepada siapa sebetulnya keberpihakan aparat penegak hukum Indonesia? Ketika perempuan korban kekerasan seksual dihukum karena dianggap berzina, bukankah berarti ada yang perlu dikoreksi?,” katanya.
Tak layak seorang perempuan berusia lebih dari 90 tahun dijatuhi hukuman penjara karena menebang pohon sebagaimana tak pantas petani yang lahir dari mencari nafkah di hutan, kemudian ditahan karena tindakannya tersebut.
“Dalam hingar bingar politik elektoral yang kian tak terdengar, kami merasa perlu menunjukan sikap dan keberpihakan pada mereka yang kian tepinggirkan suaranya. Angka-angka yang kami kutip hanya refleksi betapa dalam dan luasnya jangkauan kriminalisasi bagi sesama,” katanya.