Suara.com - Terpidana kasus penodaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), mengajukan upaya Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung atas Putusan Nomor 1537/Pi.B/2016/PN.Jkt.Utr yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Jakarta Utara tanggal 9 Juni 2017.
Humas PN Jakarta Utara Jootje Sampaleng mengatakan, permohonan PK dari Ahok sudah sesuai pasal 263 ayat 2 Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam Aturan itu disebutkan, permintaan PK dapat dilakukan apabila terdapat keadaan atau bukti baru (novum).
PK juga bisa diajukan apabila terdapat putusan yang bertentangan satu sama lain, dan kalau putusan menunjukkan kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata.
Baca Juga: KPK Bakal Sambut Kepulangan Novel Baswedan di Bandara
"Dia (Ahok) mengajukan PK itu sebagai pemohon dengan membandingkan putusan. Jadi terpidana membandingkan putusan Buni Yani," ujar Jootje di PN Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, Rabu (21/2/2018).
Buni Yani adalah orang yang mengunggah dan mengedit transkrip isi transkrip video pidato Ahok, ketika mengutip surat Al Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu.
Majelis hakim PN Bandung telah menyatakan Buni Yani bersalah pada kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Dia dianggap memenuhi unsur Pasal 32 Ayat 1 dan Pasal 28 Ayat 2 UU ITE.
Video yang diedit Buni Yani dijadikan bukti yang memberatkan Ahok dalam persidangan, sehingga mantan Gubernur Jakarta itu divonis bersalah 2 tahun penjara pada 9 Mei 2017.
Menurut Jootje, permohonan PK dari Ahok didasari atas putusan hukum yang diterima Buni Yani. Ahok akan membandingkan keputusan yang diterimanya dengan yang didapatkan Buni Yani.
Baca Juga: BNPT Akan Kumpulkan Para Mantan Teroris
"Nah kalau bagian A itu kan ada keadaan baru. Keadan baru itu (ada orang) bisa dibilang soal putusan Buni Yani dan sebagainya. Padahal keadaan baru menyangkut terdakwa saat menghadapi sidang, atau ada hal yang berhubungan dengan perkara itu," katanya.