17 Malaikat dan Penembakan Massal 'Valentine Berdarah'

Reza Gunadha Suara.Com
Jum'at, 16 Februari 2018 | 13:47 WIB
17 Malaikat dan Penembakan Massal 'Valentine Berdarah'
Warga kota Parkland, Florida, AS, menangis di antara patung 17 malaikat yang mengiaskan 17 korban tewas dalam penembakan massal di Marjory Stoneman Douglas High School, Kamis (15/2/2018) malam. [Rhona Wise/AFP]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Lori Alhadeff berdiri di dekat patung 17 malaikat berwarna krem bersayap emas yang melapisi panggung di taman kota Parkland, Florida, AS, Kamis (15/2) malam. Salah satu malaikat tersebut mewakili putrinya, Alyssa (14), yang terbunuh dalam pembantaian di Marjory Stoneman Douglas High School.

"Aku menggelugut", kata Lori kepada jurnalis The New York Times.

Dia ada di sana untuk putrinya. Ia terus berbicara dengan siapa saja yang mau mendengarkan kegetiran hidupnya sepeninggal Alyssa.

"Putriku sudah meninggal. Semua anak-anak di sini hanya ingin bersekolah. Seorang penembak seharusnya tidak bisa masuk," gugatnya.

Baca Juga: Sandiaga Anggap Pengemis Berkumpul Saat Imlek sebagai Tradisi

"Kuharap, Alyssa, malaikat kecilku tidak mati sia-sia," tutur Lori. Air mata mengalir di wajahnya.

Taman kota Parkland tempat Lori berada, menjadi pusat warga untuk menghormati 17 siswa dan guru sekolah yang menjadi korban penembakan massal oleh seorang ABG berusia 19 tahun bernama Nikolaus Cruz, tepat saat perayaan Hari Valentine atau Hari Kasih Sayang, Rabu (14/2/2018).

Selain menghormati para mendiang, warga juga mendukung korban selamat yang masih dirawat di rumah sakit untuk segera melewati masa kritis dan pulih.

Kota Parlkand, Florida, AS, benar-benar tampak kebas pada 24 jam setelah insiden “Valentine berdarah” itu terjadi.

Aaron dan Persamuhan Tak Sampai

Baca Juga: AC Milan Menang Besar di Kandang Ludogorets, Gattuso Belum Puas

"Aku selalu menyayangimu coach. Hey, ini Hari Valentine," tutur Tyler Goodman melalui sambungan telepon, beberapa jam sebelum penembakan terjadi.

Yeah, aku juga menyayangimu Bub. Oke, sampai jumpa pukul 2.30,” jawab Aaron kepada Tyler dalam percakapan itu.

Namun, Aaron dan Goodman ternyata tak lagi pernah bisa bertemu.

Aaron Feis, laki-laki berusia 37 tersebut menjadi satu dari 17 korban tewas dalam pembantaian Nikolaus. Aaron adalah pelatih sepak bola di sekolah tersebut. Sedangkan Tyler adalah salah satu pemain kesayangannya.

Saat matahari terbenam, di tengah kerumunan orang yang masygul di taman duka itu, Tyler dan rekan-rekan satu timnya membentuk lingkaran dan saling menggenggam tangan.

Mereka berdoa untuk Aaron, dan juga untuk rekan setimnya, asisten pelatih, serta direktur atletik SMA Marjory Stoneman Douglas yang tewas di tangan Nikolaus.

Mereka mengenang sang pelatih. Aaron adalah sosok populer di mata mereka, dan juga siswa lain. Sebab, selain sebagai pelatih, Aaron juga satpam sekolah yang selalu menyapa siswa di gerbang sekolah, setiap hari.

Aaron dikenal sebagai sosok jenaka, yang kerap duduk di mobil golf sembari mengacungkan jempol serta mengumbar senyuman kepada siswa.

"Dia peduli kepada kami sebagai manusia, tidak hanya sebagai pemain bola," tutur William Pringle (17), yang berhasil melarikan diri dari sekolah saat terjadi pembantaian.

Carly Novell dan Tragedi 1949

Carly Novell tergopoh-gopoh menuju sebuah almari sekolah untuk bersembunyi, ketika mendengar suara senapan semi-otomatis AR-15 menyalak.

Novell adalah murid senior SMA Marjory Stoneman Douglas. Remaja berusia 17 tahun itu juga merupakan editor majalah triwulanan sekolah, “The Eagle Eye”.

“Aku bersembunyi di dalam almari, selama horor itu,” tuturnya.

Selama di dalam lemari, Novell mengakui mengingat tragedi penembakan massal di Camden, New Jersey, tahun 1949.

Ia mengetahui kisah itu dari sang ibu. Sebab, keluarga ibunya termasuk dalam korban pembantaian tersebut.

"Kakekku saat itu berusia 12 tahun. Neneknya, serta ibu dan ayahnya terbunuh dalam penembakan titu. Ibuku sendiri selamat karena bersembunyi di dalam lemari. Saat penembakan di sekolahku terjadi, entah bagaimana aku ingat cerita ibu, karenanya langsung mencari almari untuk bersembunyi,” tuturnya.

Dulu, Novell selalu memikirkan bagaiamana rasanya saat sang ibu menanti ketidakpastian nasib di dalam lemari, saat keluarganya menghadapi sang pembantai.

“Ibuku dulu selamat karena bersembunyi di lemari. Tapi, setelah keluar, ia tak lagi memunyai keluarga. Kini, aku juga bersembunyi di dalam lemari. Ketika keluar, aku kehilangan teman-temanku,” sesalnya.

Wawancara Sang Calon Presiden

Saat Novell bersembunyi di dalam almari, di ruang kelas lain, David Hogg juga mengendap-endap bersembunyi.

Hogg adalah remaja kurus berusia 17 tahun, jurnalis senior sekolah, dan calon presiden SMA itu.

Saat penembakan terjadi, naluri jurnalis Hoog bergelegak, ia menyalakan aplikasi video di ponselnya dan mengarahkan ke teman sekelas yang bersembunyi dalam kegelapan.

Meski situasi masih mencekam, Hoog mewawancari teman-teman sekelasnya mengenai Nikolaus dan perihal kepemilikan senjata api yang semakin mudah di era Presiden Donald Trump.

"Jadi, apa pesanmu?" tanya Hoog kepada temannya, sembari terus merekam.

Satu demi satu, teman sekelasnya menanggapi.

"Saya pribadi telah ikut berdemonstrasi untuk hak senjata," kata seorang perempuan temannya, suaranya goyah, tapi kuat.

"Saya ingin menjadi junior NRA (organisasi pemburu). Saya ingin belajar berburu, "katanya.

"Tapi jika peluru menunjuk ke arah saya, sekolah saya, teman sekelas saya, guru saya, mentor saya, ini jelas membuka mata kenyataan bahwa kami memerlukan lebih banyak kendali senjata di negara kami."

Nikolaus masih petantang-petenteng menembak di sekolah itu, sementara Hogg dan lainnya bersembunyi sembari terus memahami situasi.

"Jika Anda melihat sekeliling lemari ini dan melihat semua orang hanya bersembunyi, Anda akan tahu bahwa ini seharusnya tidak terjadi lagi," kata seorang mahasiswi lain, matanya lebar dan ketakutan terlihat di wajahnya saat direkam Hogg.

Seusai peristiwa itu, Hogg memublikasikan video wawancaranya tersebut.

"Kita perlu melakukan sesuatu. Kita perlu keluar dan aktif secara politis, " katanya.

"Kongres perlu mengatasi bias politik mereka satu sama lain, dan bekerja untuk menyelamatkan nyawa anak-anak," tuntutnya.

Hogg lantas menumpahkan rasa frustrasinya terhadap politikus di Kongres AS mengenai kepemilikan senjata api, saat diwaancarai jurnalis CNN.

 “Kami hanya anak-anak. Kalian adalah orang dewasa,” gugatnya.

***

Aparat berhasil membekuk Nikolaus seusai pembantaian. Fakta-fakta mengenai Nikolaus terungkap setelah kejadian tersebut.

Nikolaus ternyata mantan siswa di SMA itu. Ia dikeluarkan dari sekolah karena masalah kedisiplinan. Ia juga disebut sempat bergabung dalam latihan militer kelompok Neo-Fasis, sehingga mampu memakai senjata laras panjang.

Nikolaus Cruz, (19), pelaku pembantaian massal di Marjory Stoneman Douglas High School, Rabu (14/2/2018). [Stocker-Sun Sentinal/Pool/AFP]

“Dia pernah latihan militer bersama kami,” kata pemimpin ROF, Jordan Jereb.

Jereb menuturkan, Nikolaus pernah berlatih kemiliteran bersama ROF di dekat tallahassee, Florida.

ROF sendiri organisasi yang berjargon ingin mengembalikan supremasi kulit putih di negara bagian tersebut.

“Namun, penembakan itu tak pernah diperintahkan oleh ROF. Itu adalah aksi Nikolaus sendiri. Dia sendirian yang bertanggung jawab,” tuturnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI