Lebih lanjut, ia mengatakan, terkait kekhususan untuk Presiden, adalah berangkat dari pemahaman pribadi Presiden terkait dengan kepentingan negara.
Bahkan, kata dia, ini sama dengan pribadi Raja dalam sistem monarki atau Presiden dalam sistem republik sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
"Pertanyaannya, apakah pribadi Presiden dalam masyarakat demokratis menyangkut kepentingan negara? Jadi seperti halnya Raja/Ratu yang memerlukan perlindungan khusus atas wibawanya untuk menegakkan ketertiban umum," kata Irawan.
Namun, berbeda halnya di dalam negara demokratis seperi Indonesia, dimana urusan pribadi dan urusan negara harus terpisah, dipisahkan oleh Negara.
Irawan melihat pasal itu berpotensi akan melahirkan negara yang otiriter, sebab publik akan merasa terancam jika mengkritik Presiden.
"Dalam bahasa konstitusional dan perspektif ketatanegaraan, pribadi Presiden mendapat kekhususannya hanya dalam protokoler saja atau kekhususan tersebut hanya dalam rangka mendukung fungsinya sebagai Presiden saja," ujar Irawan.
"Urusan “baper (terbawa perasaan)” karena merasa terhina janganlah terjadi karena bisa menimbulkan ketidakpastian hukum. Nantinya tafsir terhadap protes publik, pernyataan pendapat atau kritik dikualifisir sebagai Presiden. Bahkan ini pun berpotensi juga jika DPR ingin mengklarifikasi pun dianggap perbuatan menghina Presiden," Irawan menambahkan.