Suara.com - Komisaris Nasional Perempuan mengklaim tiga undang-undang yang menurutnya tidak berpihak bagi kaum perempuan yaitu Undang-Undang Pornografi, Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dewi Ayu Kartika Sari Koordinator bidang Pemantauan, mengatakan UUD Pornografi yang sempat jadi kontroversial juga itu sudah disahkan dan sudah berlaku.
“Kalau hasil pengamatan, beberapa perempuan yang seharusnya sebenarnya korban, tapi malah jadi pelaku dan terkena pidana dengan UU Pornografi,” ujar Dewi usai diskusi Publik Catah LBH, di Gedung Juang 45, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (14/2/2018).
UU Penghapusan KDRT dalam beberapa tahun terakhir, lanjutnya, juga malah menjadi backless.
“Misalnya, padahal dia korban KDRT lalu meninggalkan rumahnya karen takut ancaman kekerasan yang dilakukan suaminya. Kemudian pergi dari rumah lalu malah dikriminalkan dengan tuduhn penelantaran,” tambahnya.
Ia mengatakan walaupun UU PKDRT mesti hati-hati. Namun secara keseluruhan, UU PKDRT itu bagus. Komnas Perempuan sendiri tidak setuju untuk direvisi.
“Tapi terkadang perseptif yang melaksanankan, yaitu aparat penegak hukum sama pelaksanaan undang-undang yang tidak membela korban, kadang menyamaratakan. Bahwa jika istri meninggalkan rumah, dianggap penelentaran lalu dikenakan UU PKDRT,” jelasnya.
Satu lagi yang jadi kekhawatiran dari Komnas Perempuan yaitu RKUHP tentang perluasan zina yang saat ini sedang memanas.
“Yang kami khawatirankan ialah diperluasan zina tersebut, misalnya korban perkosaan. Jika korbannya dewasa, maka itu sulit dibawa ke proses hukum. hampir 90 persen tidak bisa dibawa ke proses hukum,” ujar dia.
Bayangkan jika korban perkosaan tidak bisa membuktikan bahwa dia merupakan korban dari perkosaan itu sendiri. Maka proses hukum sulit dan dia akan terkena perluasan zina. Pelaku akan mudah mendorong korban dan mengatakan kejadian tersebut atas suka sama suka, tidak ada unsur perkosaan. Hal itu yang sangat kami khawatirkan mengenai RUU KUHP.