Suara.com - Direktur Lembaga Bantuan Hukum APIK Jakarta Siti Mazuma menyampaikan Catatan Akhir Tahun 2017. Menurut catatan LBH APIK, pengaduan masyarakat di Jakarta pada tahun lalu mencapai 648 pengaduan.
LBH APIK menyoroti kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan. Korban berjumlah empat orang anak korban dan pelaku guru. Salah satu korban adalah anak perempuan penyandang disabilitas hingga hamil dan melahirkan. Dari semua kasus dukungan sekolah terhadap korban sangat minim, bahkan cenderung membela pelaku.
“Melihat kasus diatas, sungguh ironis yang seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak dalam mencari ilmu, malah menjadi tempat yang membahayakan. Sehingga perlu rasanya tindakan cepat dari kementerian pendidikan dan dinas terkait untuk melakukan upaya pencegahan dan penanganan,” ujar Siti Mazumah, dalam diskusi Catah 2017 LBH APIK, Di Gedung Juang 45, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (14/2/2018).
Berdasarkan jenis kasusnya, pengaduan dapat dikategorikan kedalam 11 kasus. Dari 648 kasus terdapat 308 (47,53%) kasus KDRT, 105 (16,20%) kasus pelanggaran hak dasar, 77 (11,88%) kasus perdata keluarga, 37 (5.71%) kasus kekerasan seksual, 35 (5.40%) kasus Pidana Umum, 30 (4,63%) kasus kekerasan dalam pacaran, 10 (1,54%) kasus perdata umum, 2 (0.31%) ketenagakerjaan, 2 (0.31%) kasus trafiking dan 43 (8,64%) kasus diluar yang dikriteria kasus LBH Apik Jakarta.
Uli Pangaribuan, selaku Koordinator pelayanan Hukum mengatakan kasus kekerasan seksual meningkatkan di tahun 2017, polanya juga semakin berkembang dengan cara menggunakan relasi kuasa, bujuk rayu hingga ancaman.
Sementara perlindungan hukum untuk korban masih minim. Untuk itu pada tahun 2017 LBH Apik Jakarta bersama jaringan pengada layanan mendoronh DPR segera membahas rancangan UU penghapusan kekerasan seksual yang pada bulan september 2017 panitia kerjanya telah terbentuk dan 2018 telah berjalan pembahasannya.
Ironisnya lagi, 648 kasus yang kami damping hanya 26 kasus pidana yang diputus pengadilan 11 kasus kekerasan terhadap perempuan masih memakan waktu yang lama selama jaminan keamanan bagi korban terabaikan.
“Untuk itulah dalam rangka mendorong proses peradilan yang cepat murah dan dapat menghadirkan pemulihan selama dan pasca proses peradilan yang cepat, murah dan dapat menghadirkan pemulihan selama dan pasca proses peradilan kami mendorong lahirnya Sistem Perdilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT -PKKTP) di wilayah DKI Jakarta,” ujar Veni Siregar Koordinator perubahan hukum.
SPPT PKKTP merupakan sistem terpadu yang menunjukan proses keterkaitan antar instansi yang berwenang dalam kasus kekerasan terhadap perempuan. Juga dalam memastikan akses pelayanan yang mudah dan terjangkau bagi perempuan dalam proses peradilan kasua kekerasan terhadap perempuan. Kata Veni Siregar Koordinator perubahan Hukum.
Melihat situasi ini, LBH Apik Jakarta merekomendasikan kepada pihak terkait untuk:
• Pemerintah Pusat dan DPR RI mengedepankan suara dan kepentingan perempuan korban dalam pembahasan RUU penghapusan kekerasan seksual dan revisi RKUHP serta menghapus dan merevisi ketentuan yang diskrminatif agar tidak melegitimasi pelanggaran HAM dan Hak-hak dasar warga negara termasuk hak-hak perempuan dan anak.
• Pemerintah pusat dan DPR RI memerintahkan kepada seluruh pejabat publik untuk tidak membenarkan ujaran kebencian berdasarkan jenis kelamin pada proses Pilkada.
• Pemerintah pusat menegakkan implementasi UU PKDRT dengan menyusun standaritasi penerapan SOP di Aparat penegak hukum untuk kasus KDRT dan menjalankan amanat pasal 1 dan 12 UU PKDRT.
• Pemerintah DKI Jakarta segera mengesahkan kesepakatan bersama Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus-Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT-PKKTP) dan segera membahas Perda Bantuan Hukum dan memastikan penanganan, pemulihan dan akses keadilan bagi perempuan dan anak korban kekerasan di wilayah DKI Jakarta.