Meski sudah memasuki tahap akhir, RUU MD3 belum disetujui semua Fraksi Partai di DPR. Salahsatunya yaitu Fraksi PPP. PPP menyoroti beberapa klausul perubahan dalam RUU MD3.
"Posisi PPP tetap menolak revisi UU MD3 ya. Pertama yang kita tolak total adalah yang terkait dengan tata cara pengisian pimpinan tambahan MPR yang tiga orang," kata Sekjen PPP Arsul Sani di DPR, Jakarta, Senin (12/2/2018).
PPP menilai tata cara pengisian kursi tambahan pimpinan MPR melanggar konstitusi karena tidak melibatkan unsur DPD di dalam pembahasan. Padahal, DPD juga memiliki hak untuk mengisi kursi pimpinan di MPR.
"Buat PPP memang tak bisa ditawar. Bahkan kalau itu satu (kursi) dikasi ke PPP, PPP akan tetap mengatakan bahwa itu harus dilakukan dengan tata cara pemilihan yang melibatkan DPD karena itu menyangkut hak konstitusional dari lembaga negara yang lain," ujar Arsul.
PPP tidak menolak seluruhnya hasil revisi UU MD3. Namun, masih ada beberapa hal yang dinilai penting untuk didalami.
"Misalnya soal yang terkait dengan panggilan paksa (pihak mangkir dari panggilan DPR), soal kewenangan baru MKD, ini kan paling tidak ada pendalaman yang dilakukan dengan membuat penjelasan atas pasal itu. sehingga itu tidak menimbulkan kekhawatiran, ketakutan, multitafsir dalam pelaksanaannya," tutur Arsul.
Selain PPP, Fraksi Nasdem juga tidak setuju dengan pengesahan Revisi UU MD3. Nasdem bahkan mengusulkan tidak perlu adanya penambahan kursi pimpinan di MPR.
Untuk diketahui, revisi UU MD3 kali ini menghasilkan penambaham kursi pimpinan DPR yang akan diberikan kepada PDI Perjuangan. Sedangkan MPR tiga kursi yang akan diisi oleh PDIP, PKB dan Gerindra.