Suara.com - Aliansi Nasional Reformasi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mengingatkan Presiden Joko Widodo untuk berhati-hati dengan Rancangan KUHP yang kini tengah digarap oleh DPR.
Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu mengatakan, apabila RKUHP disahkan DPR, maka pemerintahan Presiden Joko Widodo dapat dianggap sebagai rezim yang membangkan terhadap konstitusi.
"Pemerintahan Presiden Jokowi akan dianggap membungkam kebebasan berekspresi dang memberangus demokrasi," kata Eras di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (11/2/2018).
Setidaknya terdapat tujuh alasan Aliansi Nasional Reformasi KUHP untuk menolak pengesahan RKUHP oleh DPR. Ketujuh alasan tersebut dinilai sebagai gambaran apakah pemerintah dan DPR serius dalam melakukan dekolonialisasi di Indonesia.
"Pertama, RKUHP berperspektif pemenjaraan dan sangat represif membuka ruang kriminalisasi melebihi KUHP produk peninggalan kolonial," ujar Eras.
Menurut dia, RKUHP menghambat proses reformasi peradilan karena memuat sejumlah kriminalisasi baru dan ancaman pidana yang sangat tinggi, yang dapat menjaring lebih banyak orang ke dalam proses peradilan dan menuntut penambahan anggaran infrastruktur peradilan.
"RKUHP memuat 1251 perbuatan pidana, 1198 di antaranya diancam dengan pidana penjara. Kebijakan ini akan semakin membebani permasalahan lembaga pemasyarakatan yang kekurangan kapasitas," tutur Eras.
Kedua, RKUHP juga dianggap belum berpihak pada kelompok rentan, terutama bagi anak dan perempuan.
Kata dia, dengan sulitnya akses pada pencatatan perkawinan pengaturan pasal perzinahan dan samen leven tanpa pertimbangan yang matang berpotensi membahayakan 40 hingga 50 juta masyarakat adat dan 55 persen pasangan menikah di rumah tangga miskin yang selama ini kesulitan memiliki Dokumen perkawinan resmi.
Menurutnya, kriminalisasi hubungan privat di luar ikatan perkawinan berpotensi meningkatkan angka kawin yang sudah dialami 25 persen anak dan perempuan di Indonesia.
"RKUHP juga memidana mereka yang menggelandang, berpotensi memidana anak, masyarakat miskin tanpa dokumen resmi dan korban kekerasan seksual," ujar Eras.
Ketiga, RKUHP dinilai mengancam program pembangunan pemerintah, utamanya program kesehatan, pendidikan, ketahanan keluarga dan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Eras, larangan penyebaran informasi tentang kontrasepsi dalam RKUHP berpotensi menghambat program kesehatan dan akses terhadap layanan HIV, karena layanan kesehatan reproduksi dan HIV akan semakin sulit menjangkau anak, remaja, dan populasi yang rentan, yang takut diancam pidana.
RKUHP juga dinilai menghambat program pendidikan 12 tahun karena pernikahan akan semakin dirasa sebagai pilihan rasional untuk menghindari pemenjaraan akibat perilaku seks di luar nikah.
RKUHP juga menghambat program-program kesejahteraan sebagai dampak ikutan dari terlantarnya puluhan juta anak yang lahir dari pasangan yang dianggap “tidak sah”.
"RKUHP juga masih menuntut pemidanaan bagi pecandu dan pengguna narkotika. Hal ini akan menghancurkan program Presiden Joko Widodo dalam upaya penyelamatan para pecandu dan pengguna narkotika," tutur Eras.
Keempat, RKUHP dinilai mengancam kebebasan berekspresi dan memberangus proses berdemokrasi.
Kembalinya pasal penghinaan presiden, yang merupakan salah satu monumen penjajah kolonial, adalah bukti RKUHP bertentangan dengan Konstitusi.
Ketentuan lain juga menyumbang iklim ketakutan untuk berdemokrasi seperti pasal-pasal pidana yang dapat menjerat kritik terhadap pejabat, lembaga negara dan pemerintahan yang sah, larangan mengkritik pengadilan.
"Belum lagi diperburuk dengan ancaman pidana yang sewaktu-waktu bisa digunakan untuk membunuh kebebasan berekspresi dan memberangus proses berdemokrasi," kata Eras.
Kelima, RKUHP dinilai memuat banyak pasal karet dan tak jelas yang mendorong praktik kriminalisasi, termasuk intervensi terhadap ruang privat warga.
RKUHP dinilai akan memberikan kewenangan pada aparat penegak hukum dan pemerintah daerah untuk melakukan kriminalisasi terhadap pelanggaran hukum yang hidup dalam masyarakat tanpa indikator dan batasan yang jelas dan ketat.
"RKUHP juga memiliki banyak pasal-pasal multitafsir dan tak jelas seperti pidana penghinaan, penghinaan presiden dan lembaga negara, kriminalisasi hubungan privat, dan lain sebagainya yang pada dasarnya dapat memenjarakan siapa saja," ujar Eras.
Keenam, RKUHP dinilai mengancam eksistensi lembaga independen. Kata dia, DPR dan Pemerintah sama sekali tidak mengindahkan masukan dari beberapa lembaga independen negara seperti KPK, BNN, dan Komnas HAM yang telah menyatakan sikap untuk menolak masuknya beberapa tindak pidana ke dalam RKUHP seperti Korupsi, narkotika dan pelanggaran berat HAM.
"Hadirnya tindak pidana - tindak pidana yang memiliki kekhususan pendekatan ini dalam RKUHP jelas mengancam eksistensi dan efektifitas kerja lembaga terkait," tutur Eras.
Ketujuh, berdasarkan enam poin permasalahan di atas, telah nyata terlihat bahwa RKUHP dibahas tanpa melibatkan sektor kesehatan masyarakat, sosial, perencanaan pembangunan, pemasyarakatan, dan sektor-sektor terkait lainnya.
"Misalnya RKUHP sama sekali tidak melibatkan perspektif pemasyarakatan untuk melihat kesiapan egara dalam menanggulangi beban pemidanaan yang begitu besar, atau sektor kesehatan yang tidak pernah diajak duduk bersama terkait masalah dampak kesehatan publik akibat sejumlah kriminalisasi dalam RKUHP," kata Eras.
Berdasarkan tujuh alasan di atas,
Aliansi Nasional Reformasi KUHP menuntuk kepada Presiden Jokowi dan DPR agar, menghentikan seluruh usaha mengesahkan RKUHP yang masih memuat banyak permasalahan dan masih mengandung rasa penjajah kolonial.
Meminta Pemerintah untuk menarik RKUHP dan membahas ulang dengan berbasis pada data dan pendekatan lintas disiplin ilmu, dengan pelibatan bersama seluruh pihak, lembaga terkait, dan masyarakat sipil.
"Dan menolak RKUHP dijadikan sebagai alat dagangan politik," kata Eras.
Tujuh Alasan Aliansi Nasional Reformasi KUHP Tolak RKUHP
Minggu, 11 Februari 2018 | 15:27 WIB
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News
BERITA TERKAIT
Konsep Pidana di Indonesia Berubah Jadi Alasan 5 Anggota Bali Nine Akan Dipulangkan
25 November 2024 | 11:20 WIB WIBREKOMENDASI
TERKINI