Suara.com - Fredrich Yunadi, terdakwa kasus dugaan menghalngi penyidikan terkait kaus e-KTP yang menjerat Setya Novanto, berpotensi dihukum maksimal.
Pasalnya, sikap Yunadi yang dinilai kurang kooperatif membuat jaksa bisa mempertimbangkan hukuman yang lebih berat.
"Kalau kami lihat Pasal 21 itu maksimal tuntutannya 12 tahun, tentu nanti penuntut umum akan mempertimbangkan perbuatan-perbuatan yang dilakukan, termasuk juga sikap kooperatif atau tidak saat proses hukum ini," kata juru bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (9/2/2018).
JPU KPK mendakwa Fredrich Yunadi telah melakukan tindakan menghalangi penyidikan, karena merekayasa hasil pemeriksaan medis Novanto, supaya menjalani rawat inap sehingga tidak bisa diperiksa oleh penyidik KPK.
Baca Juga: Polisi Sita Ratusan Pil Ekstasi di Indekos Amel
Namun, terhadap dakwaan tersebut, bekas pengacara Novanto itu menilainya sudah direkayasa dan palsu. Dia bahkan akan mengajukan eksepsi atau nota keberatan, dan siap menelanjangi kebohongan KPK.
Febri mengatakan, kooperatif tidaknya seseorang bisa menjadi alasan yang memberatkan atau meringankan ketika dituntut atau divonis di pengadilan. Faktor lain yang bisa membuat seseorang bisa dihukum lebih ringan adalah, dengan mengakui perbuatannya.
"Kemungkinan tuntutan maksimal itu tidak tertutup kemungkinan, namun jaksa dan hakim tentu akan mempertimbangkan, apa alasan meringankan dan memberatkan," katanya.
Febri berharap, Yunadi dapat bekerja sama dengan KPK demi melancarkan proses hukum yang tengah berjalan. Apalagi saat ini, proses persidangan Yunadi masih dalam tahap awal.
"Kami Ingatkan juga kepada terdakwa dan pihak lain yang diproses oleh KPK agar kooperatif dengan proses hukum. Sikap tidak kooperatif atau bahkan tidak menyadari perbuatannya itu tidak akan membantu para saksi ataupun para pendakwa yang diajukan di persidangan, justru akan memberatkan masing-masing," kata Febri.
Baca Juga: Jonatan Christie Buka Keunggulan Indonesia Atas Jepang