Suara.com - Dua organisasi profesi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) meminta pemerintah mengubah tanggal peringatakan Hari Pers Nasional. Sebab 9 Februari sebagai HPN tidak mencerminkan sejarah pers Indonesia.
Ketua AJI Indonesia Abdul Manan mengatakan AJI dan IJTI sudah bersurat ke Dewan Pers 23 Januari lalu. Dalam surat itu AJI dan IJTI mengusulkan 23 September sebagai Hari Pers Nasional yang baru.
"Tanggal itu kami sepakati karena sebagai tonggak kebebasan pers pascareformasi. Di tanggal itu Undang-Undang Pers disahkan," kata Cak Manan, sapaan akrab jurnalis Tempo itu saat berbincang dengan suara.com, Jumat (9/2/2018).
UU Pers disahkan di Jakarta pada 23 September 1999 oleh Presiden Indonesia Bacharuddin Jusuf Habibie dan Sekretaris Negara Muladi. Sementara HPN saat ini diambil dari tanggal berdirinya Persatuan Wartawan Indonesia pada 9 Februari 1946.
Baca Juga: AJI, IJTI dan PWI Bahas Peluang Revisi Hari Pers Nasional
Manan mengatakan selama ini HPN hanya dirayakan oleh sebagian komunitas pers. "Wartawan lain tidak mau terlibat," kata dia.
Sampai ada kesepakatan usulan 23 September sebagai HPN, AJI dan IJTI membuat berbagai diskusi publik. Mereka mengundang pakar-pakar pers nasional, termasuk berbagai organisasi pers di Indonesia.
AJI-IJTI juga meminta perayaan HPN tidak melulu menggunakan dana APBN, tapi menggunakan dana yang dari komunitas pers. Jikalau pakai dana negara, pertanggungjawabannya harus jelas.
"Pendanaan bisa dari mana saja, asal pertanggungjawabannya jelas. Bisa dengan kolektifJika pakai dana pemerintah, bisa melalui Dewan Pers," kata lelaki berkacamata itu.
"Sejarah pers Indonesia harus jelas dan terang. Agar semua komunitas pers bisa ikut," tutupnya.
Baca Juga: AJI, PWI dan IJTI Setuju Kaji Ulang Tanggal Hari Pers Nasional