Suara.com - Wakil Ketua DPR Fraksi Gerindra Fadli Zon menolak pasal penghinaan presiden dan wakil presiden dimasukkan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kini revisi itu tengah dibahas DPR.
"Pasal penghinaan presiden itu kemunduran demokrasi," kata Fadli di DPR, Jakarta, Kamis (8/2/2018).
Menurut dia, rakyat mengkritik presiden hal biasa. Kecuali konteksnya menghina dan memberi informasi yang tidak benar.
"Kalau mengkritik, apalagi untuk DPR, itu tugas konstitusional. Rakyat berhak melakukan kritik terhadap pemimpinnya," ujar Fadli.
Baca Juga: Lempar Bingkisan, Fadli Zon Sebut Jokowi Bergaya Primitif
Pasal penghinaan presiden berpotensi menjadi 'pasal karet'. Pasal tersebut merupakan peninggal kolonial yang mestinya sidah dihapus.
"Sebaiknya itu tidak perlu dimasukkan dan diendorse apalagi dipaksakan. Apalagi sudah dibatalkan sebelumnya. Kalau keputusan MK final dan mengikat harusnya tidak dimasukkan lagi. Ada orang yang takut dikritik intinya," tutur Fadli.
Ketentuan tentang penghinaan presiden yang kini menjadi polemik di masyarakat yaitu Pasal 238 dan Pasal 239 ayat 2 Rancangan KUHP.
Pasal 238 Rancangan KUHP ada dua ayat. Ayat pertama berbunyi setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori I pejabat.
Sedangkan ayat keduanya berbunyi tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud ayat 1 jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Baca Juga: Terilhami Ketua BEM UI, Fadli Zon Sebar Sajak Peluit Kartu Kuning
Adapun Pasal 239 juga memuat dua ayat. Pada ayat pertama berbunyi setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak kategori IV.