Polisi Bantah Terjadi Penganiayaan Terhadap Santri di Garut

Adhitya Himawan Suara.Com
Kamis, 08 Februari 2018 | 07:19 WIB
Polisi Bantah Terjadi Penganiayaan Terhadap Santri di Garut
Sejumlah santri mengikuti apel Hari Santri Nasional di Pondok Pesantren Al Mahrusiyah, Kediri, Jawa Timur, Minggu (22/10/2017). [Antara/Prasetia Fauzani]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kepala Kepolisian Resor Garut AKBP Budi Satria Wiguna menyatakan, hasil prarekonstruksi yang dilakukan kepolisian tidak menemukan kejadian penganiayaan terhadap santri di Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut, Jawa Barat, sehingga dipastikan Garut aman.

"Setelah kami lakukan pendalaman kaitan dengan kejadian ini ternyata tidak benar ada penganiayaan tersebut, jadi dipastikan kasus pengeroyokan ini tidak pernah terjadi," kata Budi saat jumpa pers bersama unsur pimpinan pesantren dan ulama di Garut, Jawa Barat, Rabu (7/2/2018).

Ia menuturkan, kepolisian telah menggelar prarekonstruksi untuk mengetahui kebenaran tentang kasus dugaan penganiayaan terhadap seorang santri di Garut itu.

Kepolisian juga, kata dia, telah menjalin komunikasi dengan para ulama dan pimpinan pesantren di Garut, khususnya pesantren di Kecamatan Leles yang santrinya diinformasikan menjadi korban penganiayaan tersebut.

Baca Juga: Di Depan Ratusan Santri, Jokowi Dibacakan Puisi "Khalifah Kami"

"Jadi dipastikan yang terjadi di sini adalah 'human error', karena yang pasti kejadian penganiayaan tersebut tidak pernah terjadi dan tidak seheboh yang media sosial kabarkan," katanya.

Kapolres mengungkapkan, santri yang menjadi korban dalam kasus penganiayaan itu memberikan keterangan kepada polisi bukan karena dianiaya seperti yang tersebar kabar di masyarakat.

"Selain memeriksa santri yang mengaku sebagai korban, kita juga sempat memeriksa sejumlah pengurus pesantren lainnya dan saksi kunci," katanya.

Budi menyampaikan, awal munculnya kasus tersebut ketika pihak pesantren menerima informasi dari korban yang memiliki keterbatasan dalam berbicara tentang dirinya menjadi korban pengeroyokan.

Menurut Kapolres, kesalahan penyampaian komunikasi dari korban itu memicu kesalahan dalam penerimaan pesan sehingga terjadi kesalahpahaman.

Baca Juga: Menaker: Santri Harus Miliki Kompetensi di Atas Standar

"Kasus yang terjadi di Garut ini tidak ada sangkut pautnya dengan dua kejadian yang menimpa ulama di Bandung, sekali lagi saya tegaskan ini murni human error," katanya.

Terkait informasi yang telah menyebar di media sosial, Kapolres mengatakan sudah meminta pihak terkait untuk menghapusnya sebagai upaya menjaga keamanan dan kenyamanan masyarakat Garut.

Kepolisian juga, kata dia, terus menjalin kebersamaan dengan para ulama untuk menjaga ketertiban, keamanan dan kenyamanan masyarakat Garut.

Ia mengimbau seluruh lapisan masyarakat untuk bijak dalam menggunakan media sosial, dan tidak mudah terprovokasi dengan segala informasi yang menyebar di media sosial.

"Media sosial akan menjadi haram ketika digunakan hal yang dapat merugikan dan berujung kemarahan 'netizen', tetapi jika medsos untuk kemaslahatan umat, hal itu menjadi halal atau sah-sah saja," katanya.

Pimpinan Pondok Pesantren Al-Futuhat, KH Ahmad Syatibi yang pertama mengunggah postingan dugaan penganiayaan ke media sosial Facebook menyampaikan klarifikasi bahwa yang dilakukannya sebagai imbauan kepada para ulama di seluruh Nusantara untuk waspada.

"Ketika tahu itu (menerima laporan korban) tentu saya khawatir dan langsung mengunggah foto itu di media sosial, tidak ada maksud apapun," katanya. (Antara)

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI