Suara.com - Komnas Perempuan mengkritik Pasal 488 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena bisa dijadikan alasan mengkriminalisasi maupun mempersekusi pasangan yang terikat perkawinan tapi belum dianggap sah oleh negara.
Ketua Komnas HAM Azriana Manalu mengatakan, banyak pasangan yang sebenarnya sudah menikah dan sah secara agama atau adat tapi belum dianggap sah oleh negara sehingga belum memunyai akte atau surat nikah.
"Misalnya perkawinan yang sah diakukan secara agama namun belum dicatatkan, atau perkawinan masyarakat adat dan perkawinan penganut kepercayaan," ujar Azriana di Kantor Komnas Perempuan, Jalan Latuharhari, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (7/2/2018).
Tak hanya berimbas kepada kelompok tersebut, pasal 488 Rancangan KUHP ini berpeluang mengkriminalisasi perempuan korban kejahatan perkawinan.
Dirinya menjelaskan, rumusan norma Pasal 488 RUU KUHP tersebut berpotensi mengkriminalisasi perempuan yang menjadi isteri kedua dalam sebuah keluarga.
"Seringkali praktek perkawinan beristri lebih dari seorang, istri tidak memenuhi syarat, alasan dan prosedur berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan juncto Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang kompilasi hukum Islam untuk melakukan poligami," ujarnya.
Komnas Perempuan juga menentang paktek pologami dan praktik kejahatan perkawinan yang dibungkus dalam makna poligami.
Dia mengatakan, poligami merupakan akar kekerasan terhadap perempuan. Sebab, perempuan yang dipoligami rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan.
"Pengaturan pasal itu menempatkan perempuan korban dalam posisi yang dapat menjadi sasaran atas pengaturan itu," pungkasnya.
Untuk diketahui, DPR dan pemerintah bersepakat memperluas pasal tindak pidana zina dalam RUU KUHP yang kekinian masih digodok di lembaga legislatif.
Kendati sudah hampir rampung, Komnas Perempuan minta agar pengesahaan RKUHP itu sebaiknya ditunda, supaya bisa dilakukan revisi pada beberapa pasal yang dianggap dapat membuka peluang kriminalisasi terhadap golongan atau kelompok tertentu, terutama pasal 488.