Pasal Penghina Presiden, DPR: Anjing Raja Saja Tak Boleh Dipukul

Rabu, 07 Februari 2018 | 14:58 WIB
Pasal Penghina Presiden, DPR: Anjing Raja Saja Tak Boleh Dipukul
Anggota Komisi III dari Fraksi Nasional Demokrat Taufiqulhadi [Dok. Nasdem]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Panitia Kerja DPR untuk Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menilai, pasal yang mengatur larangan menghina presiden dan wakil presiden penting untuk dimaktubkan dalam KUHP baru menggantikan warisan era kolonial.

Pasalnya, menurut anggota Panja DPR untuk Rancangan KUHP dari Fraksi Partai Nasdem Taufiqulhadi menuturkan, presiden dan wapres adalah simbol negara.

"Kepala negara itu simbol negara, dia dipilih oleh rakyat Indonesia. Karenanya, menghargai pilihan rakyat sama saja menghargai rakyat Indonesia. Kalau negara lain, seperti Thailand, anjing raja saja tidak boleh ditendang," kata Taufiq di DPR, Jakarta, Rabu (7/2/ 2018).

Baca Juga: Tim Putra Indonesia Hadapi Filipina, CdM: Tetap Waspada

Taufiq membantah pasal tersebut ditujukan untuk membungkam kritik terhadap presiden.

"Tidak (membungkam pengkritik presiden) Itu sangat detail. Misalnya begini, pasal yang menyerang diri presiden dan wakil presiden. Itu ditegaskan menyerang secara fisik," ujar Taufiq.

Taufiq menuturkan, jika penyerangan pada presiden atau wapres tidak termasuk serangan fisik, maka tidak masalah.

Namun, serangan yang dimaksud dalam pasal ini berbeda dengan serangan fisik seseorang kepada orang lain.

Sementara itu, terkait penghinaan kepada presiden dan wapres, tidak berlaku jika bentuk penghinaan dalam arti mengkritik untuk kepentingan umum dan guna membela diri.

Baca Juga: Jelang Ultah Olga, Billy Syahputra Didatangi Almarhum dalam Mimpi

"Jadi misalnya orang itu mengkritik, itu tidak berlaku. Kalau menghina saja, ya. Menghina itu kan berbeda dengan mengkritik. Mengkritik itu berkaitan dengan kinerja presiden," tutur Taufiq.

"Misalnya kalau mahasiswa kemarin itu mengkritik kebijakan di Asmat, itu tidak bisa diambil sikap. Itu masalah kritik," tambah Taufiq.

Namun, jika kritik kepada Presiden atau wapres cenderung berbentuk hinaan, maka akan dikenakan pasal tersebut.

"Kalau mengatakan presiden ibunya tidak jelas, itu menghina. Berbeda sekali dengan kritik. Kalau menghina itu sesuatu yang tidak ada dasarnya dan tidak ada penjelasan apa pun. Hanya rasa kebencian. Tetapi kalau kritik itu ada penjelasannya," terangnya.

Sedangkan terkait mengkritik dalam bentuk membela diri karena telah diperlakukan tidak wajar oleh presiden atau wapres, juga tidak dapat dikenai pasal tersebut.

"Jadi itu tidak bisa kalau seseorang warga negara, dia diperlakukan presiden atau orang di sekitarnya, membuat dia tersudut. Lantas dia menyerang balik, itu tidak ada masalahnya. Tidak akan diproses," tandasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI