Suara.com - Dalam kesaksian di pengadilan tindak pidana korupsi, Jakarta Pusat, mantan Wakil Ketua Badan Anggaran DPR dari Demokrat Mirwan Amir mengaku pernah menyarankan (mantan) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menghentikan proyek KTP berbasis elektronik karena terindikasi bermasalah. Namun, proyek tetap berjalan. Ternyata benar, belakangan menyeret sejumlah politisi dan birokrat ke penjara karena diduga rugikan negara Rp2,3 triliun.
Nama ketua umumnya disebut-sebut di persidangan, anggota Fraksi Demokrat di DPR Didik Mukriyanto bersuara.
Menurut dia omongan Mirwan ketika dihadirkan sebagai saksi terdakwa Setya Novanto sengaja untuk membuat opini baru.
"Satu hal yang ingin saya sampaikan terkait pencatutan nama (SBY), ini kan persoalan opini yang dibangun," kata Didik di DPR, Jakarta, Rabu (31/ 1/2018).
Didik kemudian bicara panjang lebar yang intinya dia mau bilang tak mungkin Yudhoyono terlibat. Dia bilang setiap kebijakan yang diambil Presiden, termasuk proyek e-KTP, berpedoman pada undang-undang. Sebab kalau tidak begitu, kata Didik, sama artinya Kepala Negara melanggar konstitusi.
Setelah mengambil kebijakan, kata dia, Presiden menyerahkan pelaksanaan teknis kepada kementerian. Dalam proyek e-KTP tentunya Kementerian Dalam Negeri.
"Inilah yang kemudian diterjemahkan kementerian terkait ya, Kemendagri untuk membangun sistem dalam pengadaan e-KTP. Ini satu hal setiap kebijakan yang bertumpu kepada UU," tutur Didik.
Setelah kebijakan dijalankan kementerian, kata dia, Presiden tidak lagi ikut campur.
Menurut dia tidak mungkin Presiden Yudhoyono pada waktu itu cawe-cawe ke hal-hal bersifat teknis proyek e-KTP di kementerian. Kalau Presiden sampai mengintervensi, kata dia, bisa dinilai punya kepentingan praktis dalam proyek itu.
"Ini membahayakan independensi (Presiden) dalam pengadaan e-KTP ini. Makanya dengan sistem yang baik, dengan birokrasi pengawasan yang baik, maka harusnya presiden tidak boleh melakukan intervensi," kata Didik.
"Kecuali di perjalanan pelaksanaan tender ini kemudian ditemukan penyimpangan-penyimpangan nyata yang basisnya juga legitimasi formal yang ada. Misalkan ditemukan audit BPKP atau audit inspektorat atau audit BPK, ada putusan hukumnya, maka Presiden sebagai pengambil kebijakan tertinggi, tentu dia boleh mengambil keputusan itu."
"Saya ingin menyampaikan, saya menjamin sejuta persen bahwa keterkaitan pelaksanaan e-KTP ini, kalau ada pihak yang kemudian mendiskreditkan pak SBY ikut campur di sini, sesungguhnya mereka adalah, saya berani menyakini bahwa itu bohong besar. Ini adalah fitnah, ini pernyataan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan."