Suara.com - Draf Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP menuai kritik dari kelompok masyarakat sipil. Sebab beberapa pasal dalam RKUHP ini dinilai dapat mengkriminalisasi kelompok masyarakat tertentu.
Seperti pasal 484 ayat (1) dan (2) RKUHP tentang zina yang menyebutkan bahwa laki-laki dan perempuan yang tidak terikat perkawinan secara sah berhubungan seks bisa dikenakan pidana. Pasal ini diadopsi dari pasal 284 KUHP.
Kemudian Pasal 488 tentang Kumpul Kebo, isinya berbunyi seseorang hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan sah akan dipidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak ketegori II.
"Menurut saya RKUHP ini berpotensi overkriminalisasi. Pengkriminalan akan lebih banyak menyasar kelompok perempuan, anak dan remaja ini tentu tidak memenuhi prinsip dasar dari hukum pidana kita. Bahwa penegakan hukum adalah jalan terakhir yang dapat ditempuh," kata Anugerah Rizki Akbari, akademisi dari Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Jentera dalam dalam sebuah diskusi tentang RKUHP di Kekini Kafe, Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (25/1/2018).
Baca Juga: Pengamat Bicara Kemampuan DPR Rampungkan RUU KUHP Warisan Belanda
Dia menjelaskan, Pasal 488 RKUHP ini juga berpotensi menjerat dan mengkriminalkan orang yang sudah terikat perkawinan namun belum dianggap sah oleh negara kerena belum tercatatkan. Misalnya kasus perkawinan nikah beda agama atau perkawinan adat yang mengalami hambatan untuk mencatatkan perkawinannya.
"Pasal ini akan berimplikasi pada mereka yang kawin secara agama atau adat sah, namun tidak dicatatkan dalam dokumen. Negara. Misalnya kelompok adat yang tidak mencatatkan perkawinan mereka dalam institusi negara artinya beresiko mengalami kriminalisasi" ujar dia.
Kemudian pasal 495 yang mengatur tentang perbuatan cabul yang dilakukan oleh sesama jenis yang diketahui atau patut diduga belum berusia di atas 18 tahun. Pasal ini dibagi dua, ayat 1 mengatur ancaman pidana penjara sembilan tahun. Sedangkan ayat 2 ancaman hukuman pidananya ditambah sepertiga jika perbuatan cabul sesama jenis terhadap orang yang berumur diatas 18 tahun dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, melanggar kesusilaan di muka umum, dan publikasi mengandung unsur pornografi.
"Pasal pasal kesusilaan diatas mencampuradukkan moralitas ke dalam tindak pidana, sementara moralitas tidak dapat dipidanakan," kata dia.
Guru Besar Antropologi Hukum UI, Prof Sulistyowati Irianto menambahkan, pasal-pasal RKUHP yang tengah bergulir di DPR itu banyak bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, dan prinsip hukum ultimum remedium.
Baca Juga: Komnas Perempuan akan Awasi Perubahan KUHP Terkait Kesusilaaan
"Ini ketidak tepatan pendekatan konsep dalam pasal-pasal kesusilaan yang menempatkan kesusilaan seolah sebagai subjek hukum. Seharusnya hukum melindungi manusia sebagai subjek hukum, bukan kesusilaan," kata dia.