Suara.com - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 15 kantor LBH Indonesia mengecam putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi yang menjatuhkan vonis 10 bulan penjara terhadap Heri Budiawan atau Budi Pego.
"Vonis bersalah yang dijatuhkan oleh hakim terhadap pejuang lingkungan yang menolak tambang emas Tumpang Pitu merupakan ancaman nyata bagi upaya-upaya partisipasi masyarakat dalam pemajuan, perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia yang sejatinya dilindungi oleh undang-undang," kata Ketua YLBHI Asfinawati, Rabu (24/1/2018).
Majelis hakim Pengadilan Negeri Banyuwangi memvonis bersalah Budi Pego atas tuduhan menyebarkan paham komunisme, setelah ditemukannya gambar palu-arit yang identik dengan simbol Partai Komunis Indonesia (PKI) di salah satu spanduk yang dibentangkan dalam demonstrasi tolak tambang pada 4 April 2017.
Budi Pego divonis 10 bulan penjara karena dinilai bersalah melanggar pasal 107a UU Nomor 27 tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara karena dinilai menyebarkan paham marxisme, komunisme, dan Leninisme yang digelar di Pengadilan Negeri Kabupaten Banyuwangi, Selasa (23/1/2018).
Baca Juga: Lolos, Kevin / Marcus Bersiap Hadapi Perang Saudara di Babak Dua
"Budi Pego adalah salah satu pejuang penolak tambang emas Tumpang Pitu dikriminalisasi menggunakan isu komunisme, yakni didakwa melakukan pelanggaran pasal 107 a Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan kejahatan terhadap keamanan negara. Suatu tuduhan yang tidak masuk akal bila dilihat dari latar belakangnya sebagai petani dan warga NU," tuturnya.
Menurutnya fakta hukum yang terungkap dalam persidangan berdasarkan catatan LBH Surabaya (Tim Penasihat Hukum Budi Pego yang tergabung dalam TeKAD GARUDA/Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat Untuk Daulat Agraria), tidak ada satupun bukti yang mengarah pada adanya penyebaran atau pengajaran tentang komunisme yang dilakukan oleh Budi Pego.
"Pada saat demo dilakukan, beberapa personel kepolisian ikut mengawal, sehingga tidak mungkin ada kegiatan penyebaran atau pengajaran tentang komunisme dalam aksi yang dilakukan pada 4 April 2017," katanya.
Asfinawati mengatakan, aksi tersebut murni penyampaian pedapat berupa penolakan terhadap tambang emas Tumpang Pitu dan hal tersebut nyatanya telah dipertimbangkan sebagai fakta oleh majelis hakim bahwa betul aksi tersebut adalah aksi tolak tambang.
"Kendati demikian, majelis hakim PN Banyuwangi berpendapat lain, Budi Pego tetap dinyatakan bersalah karena pertimbangan yang sekurang-kurangnya sebagai berikut yakni unsur melawan hukum terpenuhi menurut hakim karena aksi tersebut tidak diberitahukan secara tertulis (hanya pemberitahuan lisan) berdasarkan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum," tuturnya.
Baca Juga: Usai Dahnil, Polisi Periksa Direktur LBH Jakarta Soal Novel Besok
Kedua, Budi Pego dianggap sebagai koordinator aksi karena menurut keyakinan hakim terdakwa di video terlihat sedang mengarahkan aksi dan ketika aksi di Gunung Salakan, Budi Pego memberitahukan aksi secara lisan kepada polisi, pembuatan spanduk di rumah Budi Pego, sehingga berdasarkan pasal 15-16 UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, kordinator aksi bertanggung jawab secara penuh.
Ketiga, unsur menyebarkan ajaran komunis karena terdapat logo palu arit yang identik dengan ajaran komunisme yang dilarang ketika aksi dan patut diduga Budi Pego tahu logo itu dan tidak menghentikan aksi.
"Bila melihat pada pertimbangan hakim tersebut, vonis bersalah bagi Budi Pego sangat dipaksakan. Bagaimana mungkin pasal yang memuat delik aktif dikenakan kepada perbuatan pasif yang itupun masih dalam dugaan," katanya.
Padahal tidak ada satupun saksi yang menerangkan adanya pembuatan gambar mirip logo palu arit tersebut pada saat spanduk dibuat, sehingga putusan itu sengaja dipaksakan untuk membungkam perjuangan yang dilakukan oleh masyarakat penolak tambang emas tumpang pitu.
Berdasarkan catatan YLBHI, sepanjang tahun 2017, terdapat 61 kasus kriminalisasi dan rata-rata para aktivis tersebut dikriminalisasi karena memperjuangkan hak atas lingkungan atau hak atas tanah di wilayahnya.
"Untuk itu, YLBHI bersama 15 Kantor LBH Indonesia mengecam putusan majelis hakim PN Banyuwangi yang telah melanggengkan upaya kriminalisasi terhadap pejuang HAM, penolak tambang emas Tumpang Pitu dengan menyatakan bersalah Budi Pego dan menghukum 10 bulan penjara," ujarnya.
YLBHI juga mengecam putusan majelis hakim PN Banyuwangi karena berpotensi menghambat partisipasi masyarakat dalam perlindungan, penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia sebagaimana dijamin oleh pasal 100 UU HAM. [Antara]