Suara.com - Rekaman yang dibuka pada persidangan Setya Novanto memiliki dasar hukum yang terdapat dalam Undang-undang KPK.
Hal itu dikatakan Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Febri Diansyah.
KPK menggunakan rekaman wawancara antara Biro Investigasi Federal AS (FBI) dengan Direktur Biomorf Lone LLC Johannes Marliem pada persidangan kasus e-KTP dengan terdakwa Setya Novanto, Senin (22/1/2018) lalu.
"Kerjasama internasional itu diatur kerjasama antara KPK dengan institusi penegak hukum lain di negara lain itu diatur dalam Pasal 12 ayat 1 huruf h atau i Undang-Undang KPK," katanya melalui pesan singkat, Rabu (24/1/2018).
Baca Juga: Andi Sebut Mirwan Amir Titip Perusahaan Ikut Tender e-KTP
Dalam Pasal 12 ayat 1 (h) menyebutkan KPK berwenang meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri. Sementara huruf (i) memuat aturan yang memberi kewenangan KPK untuk meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
KPK juga mendasari pada hasil dua konvensi UN Convention against Transnational Organized Crime dan UN Convention against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi oleh Indonesia.Konvensi tersebut mengatur tentang pertukaran informasi antar dua negara dalam bidang penegakan hukum.
Febri mengatakan KPK tidak perlu lagi menghadirkan FBI untuk memastikan keaslian percakapan tersebut.
"Tidak dibutuhkan, kan sudah ada komunikasi antar-institusi negara. Nanti hakim yang menilai," kata Febri.
Febri mengatakam kejadian tersebut bahwa bukan pertama kali dilakukan KPK. KPK sudah pernah menjalin kerjasama dengan FBI dalam pengungkapan kasus korupsi sebelumnya.
Baca Juga: Sidang Kasus e-KTP, Saksi Akui Kenal Keponakan Novanto
"Beberapa kali menangani kasus lintas negara seperti ini dengan FBI kita pernah bekerja sama dalam kasus Allstorm dulu," katanya.