Suara.com - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menunjuk Ratmoho, sebagai hakim tunggal yang memimpin sidang gugatan praperadilan tersangka Fredrich Yunadi.
Namun, jadwal sidang perdana praperadilan yang diajukan mantan pengacara terdakwa kasus korupsi dana KTP elektronik Setya Novanto itu bakal digelar.
"Hakim yang manangani Ratmoho SH MH. Hari sidangnya belum ditetapkan oleh hakim. Mungkin hari ini ditetapkan, akan saya kabari,” kata Humas PN Jakarta Selatan Achmad Guntur, Jumat (19/1/2018).
Baca Juga: Junot Ikut Tentukan Judul Film Komedi Takut Kawin
Achmad mengatakan, gugatan tersangka kasus dugaan mengahalangi penyidikan tersebut teregistrasi dengan Nomor 9/Pid.Pra/2018/PN Jkt.Jaksel di PN Jaksel.
Gugatan Fredrich didaftarkan oleh Kuasa Hukumnya Sapriyanto Refa pada Kamis (18/1) kemarin.
Hakim Ratmoho sendiri adalah salah satu Hamim madya Utama di PN Jaksel. Laki-laki kelahiran Sulawesi Utara pada Mei 1962 tersebut, pernah menyidangkan kasus dugaan ujaran kebencian dua aktvis Rizal Kobar dan Jamran.
Keduanya adalah aktivis yang ditangkap, karena dianggap menyebar ujaran kebencian secara berulang terhadap agama tertentu tanpa fakta yang jelas.
Rizal Kobar dan Jamran ditangkap sebelum aksi kelompok anti-Ahok dan divonis bersalah serta dihukum 6 bulan 15 hari penjara. Mereka juga dijatuhi hukuman denda Rp10 juta oleh hakim Ratmoho.
Baca Juga: Anies Senang Warga Antusias Cari Informasi soal Rumah DP 0 Rupiah
Selain itu, Ratmoho juga pernah menyidangkan gugatan praperadilan yang diajukan oleh Heriyanto alias Aseng Gugur, tersangka pemilik satu kilogram sabu di PN Bekasi, Jawa Barat.
Ratmoho yang menjadi hakim tunggal saat itu memutuskan untuk menolak gugatan pemohon.
Yunadi mendaftarkan gugatan praperadilan ke PN Jaksel, karena tidak terima dengan perlakuan KPK. Ia menilai, KPK melanggar undang-undang dan tidak memiliki bukti untuk menjeratnya bersama dengan dokter Rumah Sakit Medika Permata Hijau Bimanesh Sutarjo.
"Kami menganggap dua bukti permulaan yang cukup tak terpenuhi dalam penetapan Pak Fredrich sebagai tersangka," kata Sapriyanto, Kamis kemarin.
Kemudian, penyitaan barang bukti dari hasil penggeledahan di kantor Fredrich Yunadi & Associated dianggap tak sah.
Sebab, KPK dianggap tidak memiliki penetapan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dalam melakukan penyitaan.
Selain itu, alasan lainnya adalah karena ada beberapa barang atau dokumen yang disita penyidik KPK tak terkait kasus Yunadi.
Menurut Sapriyanto, dokumen yang disita itu harus berkaitan dengan tindak pidana yang disangkakan terhadap kliennya.
Sementara penangkapan terhadap kliennya pada tanggal 12 Januari 2018, yang diikuti keputusan penahanan juga tidak sah. Sebabnya, KPK menangkap dan menahan Yunadi tak sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Menurut dia, berdasarkan Pasal 112 KUHAP, jika seorang tersangka dipanggil sekali tak hadir, maka dilakukan pemanggilan selanjutnya. Namun, lanjut Refa, tanpa mengindahkan Pasal 112 KUHAP, KPK langsung melakukan penangkapan.