Dilempar Botol dan Diejek Hantu, Mereka Bertahan di Balik Cadar

Reza Gunadha Suara.Com
Kamis, 18 Januari 2018 | 18:05 WIB
Dilempar Botol dan Diejek Hantu, Mereka Bertahan di Balik Cadar
Seorang wanita bercadar menaiki sepeda bersama anak laki-lakinya setelah mempelajari prosesi pemakaman berdasarkan Alquran dan Sunnah di Masjid Al-Muttaqin di Jakarta, Indonesia pada tanggal 7 Januari 2018. Komunitas ini bertujuan untuk mengatasi prasangka terhadap stigma wanita bercadar yang buruk sebagai ekstremis dan teroris. [Anadolu Agency/Anton Raharjo]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Tak mudah bagi seorang perempuan yang secara sadar memutuskan memakai busana gamis berwarna gelap dan bercadar untuk menunjukkan pilihan ideologis mereka, di tengah maraknya isu terorisme maupun kebangkitan Islam revivalis.

Hal itu setidaknya dirasakan Tri Ningtyas Anggraeni. Perempuan berusia 32 tahun itu betul-betul mengetahui rasa tak enaknya menjadi muslimah berbalut cadar, di tengah beragamnya isu terorisme dan radikalisme.

Dalam kaca mata masyarakat awam, ujar Tri kepada Anadolu Agency, perempuan bercadar lekat dengan stigma radikal, eksklusif, bahkan teroris.

Tak jarang Tri memperoleh sebutan itu, atau dipanggil hantu, saat bertemu orang tak dikenal.

Baca Juga: Sidang Setnov, Keterangan Saksi Mulai Ungkap Aliran Dana e-KTP

“Bahkan pernah ada yang melempar saya botol air mineral saat bersepeda,” tutur Tri, Minggu (7/1/2018).

Maka Februari 2017 lalu, bersama Indadari, Hesti Pratiwi dan sejumlah perempuan bercadar lainnya, Tri mendirikan komunitas Niqab Squad.

Komunitas perempuan bercadar ini bertujuan untuk menghapus citra negatif sekaligus unjuk gigi bahwa perempuan bercadar tak seburuk yang mereka kira.

“Kami ingin membangun nama baik muslimah bercadar,” tegas Tri.

Baca Juga: Siapa Paling Jago Ciuman, Jennifer Aniston atau Angelina Jolie?

Makanya, selain pengajian, kegiatan Niqab Squad lainnya adalah lebih banyak bersosialisasi. Lebih banyak bertegur sapa dan berkomunikasi dengan siapa saja.

Seorang wanita bercadar menggandeng putrinya setelah mempelajari prosesi pemakaman berdasarkan Alquran dan Sunnah di Masjid Al-Muttaqin di Jakarta, Indonesia pada tanggal 7 Januari 2018. Komunitas ini bertujuan untuk mengatasi prasangka terhadap stigma wanita bercadar yang buruk sebagai ekstremis dan teroris. [Anadolu Agency/Anton Raharjo]

“Agar memunculkan kesan ramah, kami tidak seseram yang mereka bayangkan kok,” ujar Tri.

Awal terbentuk, Niqab Squad memperoleh sambutan luar biasa. Dua bulan setelah berdiri, tak kurang dari 200an perempuan bercadar hadir dalam pertemuan pertama di suatu masjid di Rawasari, Jakarta.

“Mulanya kami memperkirakan hanya 50an yang akan datang, nyatanya antusias mereka luar biasa,” kenang Tri.

Niqab Squad memang berkembang pesat. Buktinya tak sampai setahun mereka sudah berhasil memperoleh 3000an anggota dari 30 cabang di Indonesia dan beberapa negara seperti Malaysia, Taiwan dan Afrika Selatan.

Anggotanya berasal dari beragam profesi, mulai pedagang, dokter, auditor keuangan, pengacara, desainer, hingga pelatih taekwondo.

“Kami terbuka bagi perempuan mana pun yang hendak bergabung,” kata Tri yang kini menjadi Koordinator Niqab Squad Jakarta.

Seiring berkembangnya komunitas, Niqab Squad menjadi wadah berkembangnya beragam potensi.

Saat butuh keahlian melukis tangan dengan hyena, mereka mengundang pelatih yang bisa mengajarkan bagaimana melukis hyena dengan baik.

Saat butuh keahlian bagaimana membuat nasi bento, mereka mengundang chef bento terbaik yang mereka kenal.

Selain itu mereka juga belajar fotografi, memanah, berkuda, berenang, hingga mengembangkan kemampuan berbisnis.

“Mengembangkan peluang ekonomi Islam, sekaligus membuka lapangan kerja bagi perempuan bercadar yang sulit memperoleh kerja di tempat umum,” ujar Tri.

Bahkan, Niqab Squad kini telah memiliki lini bisnis bernama Niqab Squad Store. Berlokasi di Cikini, Jakarta, toko yang mendanai kegiatan Niqab Squad ini menjual beragam perlengkapan perempuan bercadar.

Sekelompok wanita berlatih langkah-langkah prosesi pemakaman berdasarkan Alquran dan Sunnah di Masjid Al-Muttaqin di Jakarta, Indonesia pada tanggal 7 Januari 2018. Komunitas ini bertujuan untuk mengatasi prasangka terhadap stigma wanita bercadar yang buruk sebagai ekstremis dan teroris. [Anadolu Agency/Anton Raharjo]

Merasa nyaman dengan bercadar

Mulanya Tri hanya mengenakan jilbab lebar. Perempuan beranak satu ini lantas memilih mengenakan cadar 2014 lalu.

“Saya ingin berkaffah menjalankan agama,” tutur Tri.

Suami Tri tak keberatan, hanya berpesan agar ia konsisten menjalani pilihan.

Ajaran Islam, kata Tri, mensunnahkan penggunaan cadar bagi perempuan. Namun baginya cadar tak sekadar anjuran, tapi justru membuatnya merasa nyaman.

“Hati saya jadi tenang,” ungkap Tri.

Toh juga cadar tak menghalangi ruang gerak Tri bekerja di sebuah perusahaan ekspor impor di Jakarta.

Sebagai staf administrasi yang mengurusi segala keperluan berkas impor, Tri kerap berinteraksi dengan pelanggan tak berhijab, bahkan nonmuslim.

“Selama ini tidak ada masalah, mereka bahkan lebih menghargai dengan cadar yang saya kenakan,” ujar Tri.

Picingan mata dan pandangan negatif itu, kata Tri, justru kerap datang dari temannya sesama muslim.

“Ada teman yang menjauhi saya karena mengenakan cadar, tapi Allah menggantinya dengan teman lain yang lebih baik,” Tri tersenyum.

 Sekelompok wanita berlatih langkah-langkah prosesi pemakaman berdasarkan Alquran dan Sunnah di Masjid Al-Muttaqin di Jakarta, Indonesia pada tanggal 7 Januari 2018. Komunitas ini bertujuan untuk mengatasi prasangka terhadap stigma wanita bercadar yang buruk sebagai ekstremis dan teroris. [Anadolu Agency/Anton Raharjo]

Perempuan bercadar pengurus jenazah

Nursiti, 31 tahun, meraih cadar dari dalam lemari, lantas mengenakannya. Kini hanya mata berkacamatanya yang tampak. Seluruh tubuhnya tertutup balutan gamis dan hijab lebar berwarna hitam.

Bersama putra semata wayang berusia 3 tahun, auditor keuangan Mahkamah Agung ini bersepeda menyusuri jalanan Rawasari, Jakarta, menuju ke sebuah masjid yang tak jauh dari rumahnya.

Minggu pagi dua pekan lalu ia akan mengikuti pelatihan mengurus jenazah bersama pengurus Niqab Squad Jakarta.

Sesampainya di masjid, perempuan bercadar lain sudah berkumpul. Mereka membentuk formasi melingkar, lalu Koordinator Niqab Squad Jakarta Tri Ningtyas Anggraeni memaparkan tahapan mengurus jenazah.

“Pelatihan mengurus jenazah ini penting, mayat orang Islam perlu diperlakukan dengan islami dan masih banyak orang yang belum memahami itu,” tegas Tri.

Memandikan jenazah, kata Tri, butuh ketelatenan. Ada banyak bagian yang tak boleh luput untuk dibersihkan.

Salah seorang peserta menjadi model jenazah dan perempuan lain mempraktekkan paparan Tri, yaitu mensucikan mayat dengan islami dan membungkusnya dengan kain kafan.

Pelatihan terbatas bagi pengurus Niqab Squad Jakarta ini akan menjadi bekal bermanfaat. Karena akhir bulan ini pengurus akan melatih seluruh anggota Niqab Squad Jakarta yang berjumlah 200an soal bagaimana mengurus jenazah secara islami.

Ubah Citra

Pakar kebudayaan Islam Rumadi mengatakan hak setiap orang untuk menggunakan cadar. Hanya saja, tradisi bercadar memang tidak lahir di Indonesia.

“Dari dulu hingga sekarang, cadar bukan tradisi muslim Indonesia,” terang Rumadi.

Selama ini, kata Rumadi, perempuan bercadar lekat dengan istilah eksklusif dan teroris. Citra buruk itu muncul akibat konstruksi sosial yang bersumber dari penggunaan cadar oleh istri teroris.

Upaya mengubah citra perempuan bercadar, ujar Rumadi, tentu baik. Apalagi jika kelompok tersebut mau membuka komunikasi dan berinteraksi dengan masyarakat lain.

“Tapi itu tidak ada artinya kalau tidak ditunjukkan dalam pikiran, ucapan dan tindakan,” kata Rumadi.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI