Ini Penjelasan MUI soal Perbedaan Agama dan Kepercayaan

Rabu, 17 Januari 2018 | 18:38 WIB
Ini Penjelasan MUI soal Perbedaan Agama dan Kepercayaan
Ilustrasi agama. (Shutterstock)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia Anwar Abbas mengatakan agama dan kepercayaan merupakan dua hal yang berbeda. Menurutnya tidak masuk akal jika agama dan kepercayaan berada di dalam satu kolom di kolom KTP elektronik berdasarkan putusan MK.

"Agama dan kepercayaan? Memang nggak sama. Kesimpulan kami dia (agama dan kepercayaan) adalah hal berbeda. Menyamakan dua hal berbeda jelas tidak logis," ujar Anwar di gedung MUI, Jakarta, Rabu (17/1/2018).

Anwar mengatakan, tidak bisa disamakan antara agama dan kepercayaan.

Maka dari itu, MUI kata Anwar menyesalkan Keputusan Mahkamah Konstitusi RI yang membolehkan pencantuman “Pengkhayat Kepercayaan” pada kolom agama di KTP.  Keputusan itu yang termaktub dalam Putusan MK nomor 97/PPU/-XIV/2016.

"Oleh karena itu menyamakan agama dan kepercayaan ya ini bermasalah. Makanya MUI sebenaranya kecewa. Benar-benar berbeda. Tapi, MK memutuskan seperti yang sekarang," kata dia.

Sementara itu Ketua Bidang Hukum dan Perundang-undangan MUI Basri Bermanda menjelaskan pengertian agama dan kepercayaan. Adapun agama kata Basri yakni memiliki kitab, nabi, rasul dan sistem ajaran.

"Kalau agama ada syaratnya, ada rasulnya, ada kitabnya ada ajarannya ada sistemnya. Yang ada di Indonesia ini baru ada enam kita diakuinya. Yang terakhir Konghucu tapi memang itu sudah diakui sebagai agama," kata Basri.

Sementara itu, kepercayaan merupakan aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sebab, Basri merasa melalui keputusan MK itu, agama yang dianutnya disejajarkan dengan aliran kepercayaan—yang notabene sistem religi asli Indonesia.

"MUI berpandangan bahwa putusan MK tersebut menimbulkan konsekuensi hukum dan berdampak pada tatanan kehidupan sosial masyarakat serta merusak terhadap kesepakatan kenegaraan dan politik yang selama ini sudah berjalan dengan baik," tutur Basri.

Basri mengklaim, MK seharusnya menyandarkan keputusannya pada sensitivitas masyarakat sehingga putusannya objektif, dan aspiratif. Walau mengkritik putusan MK, Basri mengklaim MUI tetap menghormati perbedaan keagamaan, keyakinan, dan kepercayaan setiap warga negara.

"MUI menyetujui pelaksanaan HAM dalam hukum dan pemerintahan. Karenanya, kami  mengusulkan  kepada pemerintah, membuat kolom ‘Kepercayaan’ sebagai pengganti kolom ‘agama’ di KTP,” usulnya.

Menurutnya, pembuatan kolom ‘Kepercayaan’ sebagai pengganti kolom ‘agama’ pada KTP khusus penganut aliran kepercayaan adalah solusi terbaik.

"Kalau semua KTP memakai kolom ‘kepercayaan’ (bukan agama), ongkosnya terlalu besar, karena sudah banyak yang mendapatkan KTP. Ongkosnya kami hitung sekitar Rp6 triliun. Makanya kami usulkan, yang diganti itu KTP para penganut aliran kepercayaan,” tambahnya.

Sebelumnya, MK mengabulkan permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada kartu keluarga dan KTP.

Hal itu diatur dalam Pasal 61 Ayat (1) dan (2), serta Pasal 64 Ayat (1) dan (5) UU No 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan juncto UU No 24 Tahun 2013 tentang UU tentang Administrasi Kependudukan. Uji materi diajukan Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba, dan Carlim dengan nomor perkara 97/PUU-XIV/2016.

Majelis Hakim berpendapat bahwa kata "agama" dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI