Dia berapi-api saat bicara tentang kenapa Papua harus menjadi bangsa yang menentukan nasib sendiri. Ada berbagai argumentasi yang disampaikan Filep untuk memperkuat alasan kenapa wilayah di ujung timur Indonesia harus merdeka.
“Mereka (Indonesia) sendiri sudah melanggar, saya bilang. Karena UUD di bagian pembukaan menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Papua ini bangsa, bukan suku. Kami bangsa.”
Panjang lebar dia bicara tentang Papua. Dia menyampaikan problematika dan ide-ide.
“Saya berpikir, mari kita bicara dari sisi ini. Kami nggak salah kan karena hak kami untuk menyatakan keberadaan kami.”
Saya berusaha memahami ide-ide Filep.
“Artinya kalau kita runut sejarah tidak ada orang Papua terlibat di Sumpah Pemuda, (ikut) perjuangan kemerdekaan (RI) tidak ada. Tapi kami terus dianeksasi oleh Pak Karno. Karena Pak Karno ketakutan, jangan sampai Belanda masih deket-deket dengan Indonesia karena nanti nyerang lagi ke Indonesia.”
“Terus kalau kita analisis, apakah Indonesia meneruskan penjajahan Belanda? Tidak kan. Nah Belanda itu menjajah sampai ke Papua. Tapi bukan berarti kami bagian dari Indonesia. Jadi kalau Indonesia memaksa wilayah sebagaimana Hindia Belanda, itu kan penjajahan. Kami punya hak untuk menyatakaan keberadaan sendiri, kan. Terus waktu 17 Agustus 45, itu kan wilayah Indonesia dari Ambon sampai Aceh itu memang dijajah Jepang. Kami tidak. Karena tahun 44 sudah dibebaskan oleh Amerika. Jadi kami bukan bagian dari Proklamasi 17 Agustus. Karena Amerika masuk juga ke Papua, Jepang dikalahkan di Papua. Jepang sudah minggat, karena Amerika pakai strategi lompat katak kan. Dari Papua ke Morotai. Morotai ke Filipina. Sehingga Indonesia lain masih dijajah Jepang, kami sudah tidak di bawah Jepang. Udah sendiri. Di bawah Amerika. Terus karena Amerika fokusnya pada perang, dia meminta kepada Belanda untuk mengadministrasi masyarakat sipil di Papua."
***
Suasana siang itu makin mengasyikkan. Filep bercerita dengan berapi-api. Janet belum memulai kelas. Jadi masih ada waktu untuk mendengarkan cerita Filep. Tapi Filep belum mulai menyantap makan siangnya, padahal dari tadi nasi kotak dari Yayasan Pantau sudah berada di tangan.
Mungkin saja dia enggan melewatkan perbincangan itu. Dia tidak mau makan di dalam ruang kelas. Pada waktu makan, dia memilih sambil berdiri di meja multi fungsi di depan pintu kelas, bersama para siswa.