Bagi Filep tidak ada yang salah dengan pakaian yang dikenakannya pada hari itu. Tapi, tak salah juga kalau sebagian orang penasaran. Dia pakai pakaian mirip PNS pemerintah Indonesia, sementara ada atribut berlambang Bintang Kejora di dada.
“Tidak, ini bukan PNS. Mana lambangnya.” Filep menjelaskan pakaian yang dikenakannya.
Dia menekankan bahwa itu bagian dari kebebasan berekspresi. Lalu, tertawa.
Tapi lebih jauh tujuan dia berpenampilan demikian yaitu untuk memotivasi teman-temannya sesama PNS di Papua. Agar mereka semua punya sikap. Jangan beraninya hanya di belakang.
“Kalian jangan jadi pengecut. Jangan di belakang ngomongnya Papua merdeka, tapi di depan nggak, saya Indonesia.”
Filep tergolong orang ekspresif. Bicaranya spontan. Berbincang-bincang singkat saja sudah bisa mengetahui sikap politiknya. Sikap itu tidak pernah berubah pada diri Filep. Gara-gara keteguhan sikap mendukung perjuangan mencapai referendum bagi Papua, dia berurusan dengan pemerintah Indonesia. Dia masuk penjara beberapa kali. Tuduhannya tak main-main. Makar.
Siang itu, Jumat minggu kedua Januari 2018. Filep mampir ke lantai dua Kekini Kafe, Jalan Cikini Raya 45, Menteng. Kebetulan pada waktu itu, saya ikut kursus jurnalisme sastrawi dan Filep ingin ketemu temannya. Janet Steele. Janet seorang guru jurnalisme sastrawi asal Amerika.
Filep menaruh helm di dekat tas di atas almari kecil, dekat pintu. Kemudian dia berdiri di dekat almari yang berada di depan pintu ruang kelas. Filep meladeni beberapa peserta kursus jurnalisme narasi yang mengajaknya bincang-bincang.
“Saya boleh pakai helmnya, pace.”
Filep menoleh ke arah saya.