Munarman Ajak Umat Islam Tinggalkan Partai Pendukung UU Ormas

Senin, 15 Januari 2018 | 17:59 WIB
Munarman Ajak Umat Islam Tinggalkan Partai Pendukung UU Ormas
Munarman (tengah, pakai batik) di gedung MK [suara.com/Erick Tanjung]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - ‎Tim advokasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama menyerukan kepada umat Islam jangan memilih partai pendukung Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang organisasi kemasyarakatan dalam pemilihan legislatif, tahun ini. Masyarakat juga diajak jangan memilih pasangan calon kepala daerah dari partai pendukung UU itu.

"Kami sudah sampaikan secara terbuka dan berulang-ulang supaya umat Islam meninggalkan partai pendukung perppu jadi UU ormas itu," kata Munarman dari Front Pembela Islam di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, hari ini. Munarman mengatakan itu usai sidang perdana uji materi UU Ormas.

Partai yang menyetujui Perppu Ormas menjadi UU adalah PDI Perjuangan, Golkar, Nasdem, Hanura, Demokrat, PKB, dan PPP.

Munarman menyebut partai pendukung UU Ormas tidak pro umat Islam.

‎"Karena mereka tidak memiliki empati sama sekali terhadap umat Islam. Kami konsisten berjuang menolak UU ormas tersebut, dan kami imbau kepada semua warga agar partai-partai pendukung perppu ormas itu tidak dipilih. Dan partai-partai yang menolak itu bisa menjadi pilihan alternatif bagi masyarakat, baik di saat pilkada maupun pileg dan pilpres nanti," kata dia.

Selain GNPF Ulama, empat organisasi kemasyarakatan lainnya yang ikut mengajukan permohonan uji materi. Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia. Yayasan Forum Silahturahmi Antar Pengajian Indonesia. Perkumpulan Pemuda Muslimin Indonesia. Perkumpulan Hidayatullah.

"Alasan pokok kami mengajukan ini ada karena ada kerugian potensial yang kami rasakan dengan terbitnya UU 16 Tahun 2017 ini, yaitu tentang perubahan terhadap UU Ormas yang sebelumnya," kata Munarman.

Kerugian tersebut, menurut Munarman, berkaitan dengan kebebasan berserikat dan berkumpul, hak konstitusional untuk menyampaikan pikiran dengan lisan dan tulisan, hak untuk memajukan diri dalam melakukan kegiatan sebagai warga negara secara kolektif.

Selain itu pemohon uji materi juga merasa hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, serta kepastian hukum mereka terlanggar dengan pemberlakuan ketentuan a quo.

"Kami anggap ketentuan ini bertentangan dengan prinsip negara hukum," kata Munarman.

Menurut para pemohon, salah satu prinsip negara hukum adalah adanya pengakuan hak asasi manusia dan adanya supremasi hukum. Sementara ketentuan a quo, menurut penilaian pemohonmengancam hak-hak asasi yang dimiliki oleh para Pemohon.

"Undang-undang ini mengabaikan dan menghapus pasal-pasal yang sebelumnya sudah ada dalam UU Ormas," kata Munarman.

Menurut para pemohon, proses penjatuhan sanksi kepada ormas yang diatur dalam ketentuan a quo telah melanggar hukum, karena tidak ada proses hukum sehingga pihak yang dinilai bersalah tidak bisa memberikan pembuktian.
"Ini tentu saja tidak adil, sementara prinsip hak asasi manusia itu adalah adanya proses hukum yang harus berkeadilan," kata Munarman.

Para pemohon juga mempermasalahkan frasa "paham lain" dalam ketentuan a quo, yang dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum.

Dalam petitumnya, para pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal I angka 6 sampai dengan 21, kemudian Pasal 62 ayat (3), Pasal 80A, Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor16 Tahun 2017 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI