Suara.com - Mahkamah Konstitusi menggelar sidang judicial review Undang-Undang Nomor 16 tahun 2017 tentang Ormas yang diajukan oleh kelompok GNPF Ulama sebagai pemohon. Sidang perdana perkara ini teregistrasi dengan nomor perkara 2/PPU-XVI/2018.
Kelompok GNPF Ulama ini merupakan pihak yang pernah mendemo Basuki Tjahaja Purnama. Sebelum bernama GNPF Ulama, kelompok ini bernama GNPF MUI. Mereka menuntut Ahok dipenjara karena dituduh menistakan agama.
Dalam persidangan, Munarman sebagai pemohon V mengatakan bahwa pasal I angka 6 sampai angka 21 UU No 16 Tahun 2017 tentang Ormas berisi ketentuan yang menghapus prosedural pemberian sanksi terhadap ormas yang tercantum dalam pasal 63 sampai pasal 78, sehingga bertentangan dengan konstitusi.
"Kami minta pasal ini dihapuskan karena bertentangan dengan konstitusi. Padahal konstitusi menjamin semua warga untuk berkumpul, berserikat, menyatakan pendapat," kata Munarman.
Baca Juga: Fakta Baru Tentang HTI Akan Dibuka di Persidangan, Apa Itu?
Ia meminta pasal tentang pencabutan status badan hukum dalam UU Ormas itu dihapuskan. Sebab, kata dia, dalam norma UU Ormas ini dengan dicabutnya status badan hukum maka otomatis ormasnya dianggap bubar.
"Padahal putusan MK, hak kebebasan berserikat dan berkumpul itu adalah hak dasar. Status pendaftaran admin itu sifatnya administrasi saja, bukan membubarkan ormasnya. Hanya saja Ormas yang tidak terdaftar di Kemenkum HAM atau Kemendagri tidak mendapatkan layanan dari negara, tetapi di norma UU Ormas ini harus bubar," ujar dia.
Kemudian, lanjut dia, frasa paham lain dalam UU ini bisa ditafsirkan secara subjektif tidak rigit. Sebab di UU Ormas yang lama sudah sangat detail menjelaskan, bahwa paham lain yang dilarang hidup di Indonesia adalah atheis, komunisme, marxisme dan leninisme.
"Kalau ini kami sepakat dilarang, tetapi tidak kepada paham lain yang itu pengertiannya sangat subjektif dan terbukti ternyata. Kemudian pemerintah menganggap HTI itu bertentangan, poin apa yang bertentangan? Ini kan subjektivitas," kata dia.
Selain itu, dia juga meminta agar pasal tentang pembubaran ormas tanpa melalui proses pengadilan juga dihapus. Sebab prinsip negara hukum menghargai hak asasi manusia dan mengedepankan proses hukum.
Baca Juga: Mahfud MD: Perppu Ormas Jadi UU, HTI Tamat Sudah
"Jadi tida bisa orang yang didakwa melakukan kesalahan tapi orang tersebut diminta untuk membuktikan dirinya tidak bersalah, itu tidak benar. Kecuali dalam pembuktian terbalik kasus korupsi, sementara kasus pemikiran/paham itu tidak bisa dilakukan dengan pembuktian terbalik," ujar dia.
Munarman juga meminta ketentuan pidana dalam UU ormas yang baru disahkan tersebut dihapus. Sebab dalam UU ini menyatakan bila ormas yang dibubarkan, anggotanya yang tidak aktif pun bisa dipidana.
"Ancaman pidananya berat, seumur hidup masalahnya. Ini melanggar prinsip-prinsip hukum pidana. Kami minta supaya pasal-pasal tadi dihapuskan secara keseluruhan dan dinyatakan tidak berlaku karena bertentangan dengan konstitusi kita," kata dia.
Sementara itu, Hakim Konstitusi I dewa Gede Palguna menyarankan para pemohon untuk mempertimbangkan kembali perkara yang mereka ajukan. Hal ini menyusul rencana revisi UU Ormas tersebut di DPR.
"UU Ormas ini kan masih dalam tahap revisi di DPR, kalau nanti materi perkara anda masuk dalam revisi bagaimana? Mungkin itu perlu dipertimbangkan, apa nggak bisa sabar sedikit saja," ujar I Dewa.
Usai membacakan materi perkara yang diajukan, dan tanggapan hakim anggota, persidangan pun diakhiri oleh Ketua Majelis Hakim Anwar Usman. Persidangan selanjutnya dilaksanakan dua pekan mendatang.
"Pemohon diberi waktu selama 14 hari untuk memperbaiki matari perkara permohonan. Penyerahan perbaikan permohonan paling lambat Senin 29 Januari," kata dia.
Sementara itu para pemohon diantaranya adalah pemohon I dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia, kemudian Yayasan Forum Silaturarrahim Antar Pengajian Indonesia sebagai pemohon II, Perkumpulan Pemuda Muslim Indonesia pemohon III, perkumpulan Hidayatullah pemohon IV, dan Munarman (Jubir FPI) pemohon V.