Suara.com - Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia menegaskan, Komisi Pemberantasan Korupsi tidak memiliki kewajiban menunggu proses etik advokat sebelum menetapkan seorang pengacara sebagai tersangka.
Hal itu diungkapkan Koordinator Program PBHI Julius Ibrani mengenai kritik sejumlah pihak terhadap KPK, yang menentapkan Fredrich Yunadi sebagai tersangka kasus dugaan merintangi penyidikan Setya Novanto dalam perkara korupsi dana KTP elektronik.
Julius menyebut, KPK berhak menetapkan mantan penyacara Setya Novanto itu sebagai tersangka, meski Perhimpunan Advokat Indonesia belum memutuskan ada atau tidaknya pelanggaran kode etik oleh Yunadi.
Baca Juga: Andika Ngaku Beri Rp15 Juta Perbulan, Mantan Istri Protes
"Sebabnya, KPK tidak memiliki MoU (momerandum of understanding;9nota kesepahaman) dengan Peradi. Kami bahkan dapat kabar, ketika memproses FY, KPK memberikan surat tembusan ke Peradi," ujar Julius di Kantor ICW, Jalan Kalibata Timur IV D No 6, Jakarta Selatan, Minggu (14/1/2018).
Menurut Julius, Peradi juga tidak bisa meminta KPK melakukan penundaan pemeriksaan kepada Yunadi sebelum digelar sidang etik.
"Organisasi Peradi tidak berhak meminta penundaan apa pun. Karena tidak ada kesepahaman antara keduanya untuk menunda proses," jelasnya.
Tak hanya itu, ia juga menyebut tidak tepat kalau ada pihak yang menyebut langkah lembaga antirasywah melakukan kriminalisasi terhadap profesi advokat.
Kriminalisasi, kata dia, perbuatan yang dianggap pidana tapi tidak memiliki dasar hukum.
Baca Juga: Foto-foto Persalinan Anak Kedua Donita
"Advokat diberikan hak imunitas nggak bisa dipidana kalau dia menjalankan tugasnya denga itikad baik dan menjalankan sesuai hukum. Sebaliknya, kalau dia melanggar UU bisa dipidana," jelasnya.
"Tak ada profesi yang kebal hukum," Julius menegaskan.
KPK menetapkan Frederich sebagai tersangka pada 10 Januari 2018. Frederich diduga menghalangi dan merintangi penyidikan kasus e-KTP dengam tersangka Setya Novanto.
Frederich ditangkap dan ditahan KPK pada Sabtu 13 Januari 2018.