Suara.com - Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Kota Bengkulu mencabut hak politik Gubernur Bengkulu nonaktif Ridwan Mukti. Ridwan tidak punyak politik untuk dipilih di pemilihan umum.
Pencabutan hak politik itu sebagai hukuman tambahan.
"Selain pidana kurungan selama delapan tahun, juga mencabut hak terdakwa untuk dipilih selama dua tahun seusai menjalani masa tahanan," kata Ketua majelis hakim, Admiral di Bengkulu, Kamis (11/1/2017).
Vonis tersebut sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum KPK, yang meminta pencabutan hak politik dipilih, sebagai efek jera dari tindakan korupsi yang dilakukan terdakwa.
Baca Juga: Ayah-Ibunya Ditangkap KPK, Anak Ridwan Mukti Sungkem ke Tahanan
Hukuman tambahan ini disebabkan terdakwa merupakan kepada daerah dan terbukti menerima suap dari kontraktor proyek pembangunan infrastruktur di Bengkulu senilai Rp1 miliar.
"Untuk pencabutan hak dipilih hanya bagi terdakwa I (Ridwan Mukti), untuk terdakwa II (istri gubernur nonaktif, Lily Martiani Maddari) tidak," kata majelis hakim.
Ridwan Mukti menjalani persidangan putusan pada Kamis sore 11/1 di Pengadilan Tipikor Bengkulu, sidang dijaga ketat aparat kepolisian baik di dalam maupun di luar ruangan sidang.
Hakim menjatuhkan vonis untuk mengganjar perbuatan terdakwa masing-masing dengan pidana selama delapan tahun kurungan, denda sebesar Rp400 juta atau hukuman pengganti dua bulan kurungan.
Ridwan Mukti beserta istri dinilai terbukti telah melanggar Pasal 12 huruf a dan pasal 11 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Baca Juga: Golkar Beri Bantuan Hukum untuk Kasus Korupsi Ridwan Mukti
Vonis terhadap keduanya lebih ringan dua tahun dari tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang menuntut terdakwa dengan pidana kurungan selama 10 tahun. (Antara)