Suara.com - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mencatat kenaikan angka kasus kekerasan seksual terhadap anak pada tahun 2017.
"Catatan di kami menunjukkan kenaikan kasus kekerasan seksual dibandingkan tahun sebelumnya", kata Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai dalam konferensi pers di kantor LPSK Jakarta, Rabu (10/1/2018).
Bahkan Semandawai memprediksi angka kekerasan seksual terhadap anak ini masih tetap tinggi pada 2018 karena pada awal tahun saja sudah ada dua kejadian, yakni kasus sodomi di Tangerang dengan korban 43 anak dan pembuatan video porno yang melibatkan anak.
Wakil Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo menyebut jumlah permohonan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual terhadap anak ini jumlah peningkatannya sangat mencolok karena naik hampir dua kali. Hasto menyebut pada 2017 ada 111 permohonan dibandingkan pada 2016 sejumlah 62 permohonan perlindungan.
Baca Juga: Empat Terdakwa Pelecehan Seksual Anak di Aceh Dihukum Cambuk
"Angka tersebut dipastikan lebih besar jika banyak korban yang tidak melapor ke LPSK," kata Wakil ketua LPSK ini.
Untuk mengantisipasi hal tersebut LPSK juga melakukan upaya proaktif, yakni menjemput bola kepada korban, seperti yang dilakukan pada kasus dugaan pencabulan siswi TK di Bogor Agustus 2017 lalu.
Hasto menyebut selama tahun 2017 LPSK telah melakukan 99 kali upaya proaktif kepada saksi maupun korban termasuk kepada anak yang menjadi korban kekerasan seksual, namun diakuinya tidak semuanya minta perlindungan karena beberapa alasan.
Dia juga menyampaikan bahwa pihaknya dalam waktu dekat ini akan melakukan upaya proaktif kepada korban pencabulan di Tangerang dan anak korban video porno di Jawa Barat.
Ketua LPSK Semandawai juga menambahkan bahwa pada 2017 ada regulasi yang mendukung terhadap korban anak mendapatkan pemenuhan haknya.
Baca Juga: Hukuman Predator Seksual Anak Lebih Ringan dari Kasus Narkoba
"Di 2017 ini ada beberapa regulasi yang cukup baik dalam memastikan pemenuhan hak korban kejahatan. Hal ini kami akan berikan dukungan penuh terhadap regulasi tadi," kata Semendawai.
Ketua LPSK ini menyebut Peraturan Pemerintah (PP) nomor 43 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi anak korban.
Semendawai mengungkapkan dalam PP nomor 43/2017 ini telah mewajibkan kepada penyidik dan penuntut untuk memberikan informasi kepada korban bahwa mereka memiliki hak untuk mendapatkan restitusi.
"Dalam UU lain tidak disebut penyidik penuntut itu wajib memberitahukan kepada korban untuk mendapatkan ganti rugi dan PP ini wajib, baik kepada korban, orang tua, wali dari korban," ungkapnya.
Semendawai juga menyebut kerugian yang dibayarkan adalah meteriil dan immateriil. Selain itu, jika pelakunya anak, maka yang akan membayar adalah orang tua atau walinya.
"Kalau pelaku anak dia sendiri tidak punya harta. Dalam PP ini yang membayarkan orang tuanya. jadi harta orang tua bisa disita untuk membayar restitusi kepada korban," ungkapnya. (Antara)