Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Rachland Nashidik menyebut Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Hasto Kristiyanto kekanak-kanakan ketika menanggapi dugaan kriminalisasi terhadap kader Demokrat di Kalimantan Timur.
"Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto adalah populis gadungan yang kekanak-kanakan. Lewat pernyataan-pernyataan reaksionernya, ia sedang membawa PDIP ke dalam petualangan yang mempermalukan diri sendiri," kata Rachland Nashidik melalui keterangan tertulis yang diterima Suara.com, Jumat (5/1/2018).
Menurut Rachland, Hasto tidak membantah dugaan yang menyebutkan PDI Perjuangan bertanggungjawab dalam opresi dan kriminalisasi yang bertubi-tubi terhadap Demokrat.
"Kali ini dalam persiapan pilgub di Kalimantan Timur. Ia, tanpa rasa malu, justru seperti mengamini praktik-praktik kotor yang lagi-lagi melibatkan polisi tersebut," ujar Rachland.
Rachland tak menampik pernyataan Hasto bahwa PDI Perjuangan pernah mengalami opresi di masa lalu yang berujung pada skandal pengambilalihan kantor PDI Perjuangan pada 27 Juli 1996.
Tapi, kata dia, menggunakan sejarah opresi yang dialami PDIP di masa lalu untuk membenarkan opresi pada partai lain di masa kini adalah sesat dan keji.
"Hasto membuat kita teringat pada ideologi zionisme, yang menggunakan penderitaan bangsa Yahudi di masa lalu untuk membenarkan dan meminta dunia memaklumi opresi Israel terhadap bangsa Palestina," tutur Rachland.
Rachland mengatakan Hasto perlu lebih dulu menjelaskan dimana ia berada dalam peristiwa 27 Juli.
"Apakah ia berada bersama para aktivis partai, mahasiswa dan warga yang bahu membahu melawan serangan ataukah asyik mengurusi karirnya sendiri di PT Rekayasa Industri?," kara Rachland.
Pernyataan Hasto yang menyebut PDI Perjuangan menghadapi skandal 27 Juli dengan cara "menyatu dengan rakyat" dinilai klaim kosong yang tak berdasar.
"Elit PDIP saat itu lebih dekat dengan beberapa elit jenderal ABRI daripada dengan rakyat," ujar Rachland.
Sikap Hasto dinilai telah menyakiti memori para korban. Semasa Megawati Soekarnoputri menjabat Presiden, kata Rachland, ia justru menolak mengusutnya agar hukum tegak dan melayani tuntutan keadilan para korban yang sebagian sampai hari ini nasibnya tak diketahui.
"Dimana letak "menyatu dengan rakyat", bila Mega justru mengangkat Jenderal yang diperintah Soeharto untuk mengomandani skandal 27 Juli menjadi Gubernur DKI Jakarta?" kata Rachland.
Menurut Rachland, Hasto merupakan juru bicara yang buruk bagi politik Indonesia.
"Dan juga bagi PDIP, Partai yang sebenarnya perlu lebih keras membuktikan komitmennya pada kebebasan demokratik dan penegakan hukum. Rakyat tak akan lupa, semasa Megawati Presiden, terjadi pembunuhan pada Munir dan Theys Eluay," kata Rachland.
"Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto adalah populis gadungan yang kekanak-kanakan. Lewat pernyataan-pernyataan reaksionernya, ia sedang membawa PDIP ke dalam petualangan yang mempermalukan diri sendiri," kata Rachland Nashidik melalui keterangan tertulis yang diterima Suara.com, Jumat (5/1/2018).
Menurut Rachland, Hasto tidak membantah dugaan yang menyebutkan PDI Perjuangan bertanggungjawab dalam opresi dan kriminalisasi yang bertubi-tubi terhadap Demokrat.
"Kali ini dalam persiapan pilgub di Kalimantan Timur. Ia, tanpa rasa malu, justru seperti mengamini praktik-praktik kotor yang lagi-lagi melibatkan polisi tersebut," ujar Rachland.
Rachland tak menampik pernyataan Hasto bahwa PDI Perjuangan pernah mengalami opresi di masa lalu yang berujung pada skandal pengambilalihan kantor PDI Perjuangan pada 27 Juli 1996.
Tapi, kata dia, menggunakan sejarah opresi yang dialami PDIP di masa lalu untuk membenarkan opresi pada partai lain di masa kini adalah sesat dan keji.
"Hasto membuat kita teringat pada ideologi zionisme, yang menggunakan penderitaan bangsa Yahudi di masa lalu untuk membenarkan dan meminta dunia memaklumi opresi Israel terhadap bangsa Palestina," tutur Rachland.
Rachland mengatakan Hasto perlu lebih dulu menjelaskan dimana ia berada dalam peristiwa 27 Juli.
"Apakah ia berada bersama para aktivis partai, mahasiswa dan warga yang bahu membahu melawan serangan ataukah asyik mengurusi karirnya sendiri di PT Rekayasa Industri?," kara Rachland.
Pernyataan Hasto yang menyebut PDI Perjuangan menghadapi skandal 27 Juli dengan cara "menyatu dengan rakyat" dinilai klaim kosong yang tak berdasar.
"Elit PDIP saat itu lebih dekat dengan beberapa elit jenderal ABRI daripada dengan rakyat," ujar Rachland.
Sikap Hasto dinilai telah menyakiti memori para korban. Semasa Megawati Soekarnoputri menjabat Presiden, kata Rachland, ia justru menolak mengusutnya agar hukum tegak dan melayani tuntutan keadilan para korban yang sebagian sampai hari ini nasibnya tak diketahui.
"Dimana letak "menyatu dengan rakyat", bila Mega justru mengangkat Jenderal yang diperintah Soeharto untuk mengomandani skandal 27 Juli menjadi Gubernur DKI Jakarta?" kata Rachland.
Menurut Rachland, Hasto merupakan juru bicara yang buruk bagi politik Indonesia.
"Dan juga bagi PDIP, Partai yang sebenarnya perlu lebih keras membuktikan komitmennya pada kebebasan demokratik dan penegakan hukum. Rakyat tak akan lupa, semasa Megawati Presiden, terjadi pembunuhan pada Munir dan Theys Eluay," kata Rachland.