Soal Putusan Sela Sidang Novanto, KPK Ogah Berandai-andai

Yazir Farouk Suara.Com
Kamis, 04 Januari 2018 | 05:16 WIB
Soal Putusan Sela Sidang Novanto, KPK Ogah Berandai-andai
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Febri Diansyah [Suara.com/Ummi Hadyah Saleh]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan tanggapan soal sidang lanjutan Setya Novanto dengan agenda putusan sela Majelis Hakim yang akan digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, hari ini, Kamis (4/1/2018).

"Sejak KPK menuangkan jawaban dari eksepsi dan menyampaikan kepada pengadilan tentu saja subtansi hukum kami yakin dengan jawaban yang sudah disampaikan itu. Semuanya sudah kami jawab yang sesuai dengan materi eksepsi," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Rabu (3/1/2018) seperti dilansir dari Antara.

Terkait pembuktian apakah benar Novanto menerima 7,3 juta dolar AS, Febri mengatakan hal tersebut sudah masuk ke dalam pokok perkara.

"Tentu itu waktu yang tepat membuktikannya adalah pada proses persidangan nanti," ujarnya.

Baca Juga: Jika Yenny Wahid Ikut Pilkada Jatim, Apa Kata Khofifah?

Febri menyatakan bahwa lembaganya tidak mau berandai-andai apakah eksepsi dari Novanto itu diterima atau ditolak oleh Majelis Hakim.

"Sebaiknya kalau bicara soal apa yang menjadi sikap hakim besok pada putusan sela kita tunggu saja agenda putusan sela besok," katanya.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum KPK meminta agar keberatan atau eksepsi tim penasihat hukum mantan Ketua DPR Novanto ditolak oleh majelis hakim.

"Kami Penuntut Umum memohon kepada majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini untuk memutuskan, satu, menolak keberatan/eksepsi dari tim penasihat hukum terdakwa; dua menyatakan bahwa Surat Dakwaan No Dak-88/24/12/2017 tanggal 6 Desember 2017 yang telah kami bacakan pada tanggal 13 Desember 2017 telah memenuhi syarat sebagaimana yang ditentukan dalam KUHAP; tiga menetapkan untuk melanjutkan persidangan ini berdasarkan surat dakwaan penuntut umum," kata Jaksa penuntut Umum KPK Eva Yustisiana dalam sidang pembacaan tanggapan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (28/12/2017).

Pada sidang 20 Desember 2017 lalu, tim pengacara Novanto yang dipimpin Maqdir Ismail telah mengajukan sejumlah keberatan terhadap surat dakwaan.

Baca Juga: Demokrat Juga Ungkap Tindakan Sewenang-wenang Jelang Pilgub Papua

Keberatan tersebut antara lain mengenai kerugian keuangan negara yang dinilai tidak pasti. Sebab, dalam surat dakwaan Irman dan Sugiharto serta Andi Agustinus, kerugian negara senilai Rp2,31 triliun berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) itu tidak memperhitungkan penerimaan 7,3 juta dolar AS atau setara Rp94,9 miliar untuk Novanto, 800 ribu dolar AS atau setara Rp10,4 miliar untuk Charles Sutanto dan Rp2 juta untuk Tri Sampurno yang seluruhnya sebesar Rp105,3 miliar.

"Adapun mengenai dalil penasihat hukum mengenai penghitungan kerugian keuangan negara yang tidak nyata dan pasti karena tidak memperhitungkan penerimaan uang yang dilakukan oleh terdakwa, Charles Sutanto Ekapradja dan Tri Sampurno tersebut diatas, hal itu semakin menunjukkan ketidakpahaman Penasihat Hukum akan perbedaan unsur memperkaya/menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan unsur 'merugikan keuangan negara', serta menunjukkan kegagalan Penasihat Hukum dalam memahami laporan penghitungan kerugian keuangan negara No. SR-338/D6/01/2016 tanggal 11 Mei 2016," kata jaksa Eva.

Novanto didakwa mendapat keuntungan 7,3 juta dolar AS dan jam tangan Richard Mille senilai 135 ribu dolar AS dari proyek KTP-e.

Dalam perkara ini, Novanto didakwakan pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI