Suara.com - Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengancam memotong dana bantuan untuk Palestina, menyusul kekalahan diplomatiknya di hadapan PBB.
"Kami memberikan ratusan juta dolar per tahun dan tidak menerima apresiasi atau hormat," tegas Trump di akun Twitter miliknya, yang dikutip Anadolu Agency, Rabu (3/1/2018).
"Mereka bahkan tidak mau merundingkan perdamaian dengan Israel. Kami telah mengambil Yerusalem, bagian tersulit dari negosiasi ini, tapi Israel untuk itu harus membayar lebih mahal. Namun sekarang Palestina tidak tertarik merundingkan perdamaian, jadi mengapa kita harus tetap membayar mahal ke mereka?"
Baca Juga: Bantu Siswi Lamongan, Ahok dan Stafnya Sempat Dituduh Sebar Hoaks
Ancaman itu datang tidak lama setelah AS menarik dana kemanusiaan sebesar USD225 juta dari Pakistan menyusul tuduhan terorisme.
Utusan AS untuk PBB Nikki Haley sebelumnya juga mengatakan kepada wartawan di New York, bahwa Trump "Tidak mau memberikan kucuran dana hingga Palestina setuju kembali ke meja negosiasi".
Bulan lalu, AS menghadapi kecaman internasional di PBB ketika mereka menolak keputusan AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.
Hanya 9 negara yang setuju dengan AS dalam pengambilan suara. Sementara 128 negara lainnya menolak deklarasi Trump tersebut, walaupun Washington mengancam memotong bantuan kepada mereka.
Haley mengatakan resolusi PBB itu "tidak membantu keadaan".
Baca Juga: Kisah Siswi Lamongan Tulis Surat ke Ahok Minta Tebuskan Ijazah
Sejauh ini, status Yerusalem tergantung pada proses negosiasi Israel dan Palestina dan langkah Trump itu dilihat seperti meloncati proses tersebut.
Keputusan AS itu dihujat dunia, termasuk oleh negara-negara barat, dan memantik demonstrasi di Israel dan Palestina.
Presiden Palestina Mahmoud Abbas mengatakan setelah langkah itu, Washington tidak lagi bisa menjadi penengah dalam proses perdamaian.
Yerusalem tetap menjadi pusat konflik Israel-Palestina, dengan Palestina yang mengharapkan Yerusalem Timur—saat ini masih diduduki Israel—menjadi ibu kota negaranya kelak.
Trump mengatakan ingin membantu perundingan perdamaian antara kedua pihak dalam proses yang disebutnya sebagai "kesepakatan puncak".
Namun, sejauh ini usahanya belum berhasil. Tugas itu dihibahkan kepada menantunya, Jared Kushner, yang gagal mencatat kemajuan dalam proses itu.