Suara.com - Aksi massa besar-besaran terjadi di banyak daerah di Iran, termasuk ibu kota Teheran. Demonstrasi itu kekinian sudah mengusung isu-isu politik, yakni mengumandangkan slogan anti-pemerintah dan meminta Presiden Hassan Rouhani lengser keprabon.
Demonstrasi itu juga memakan tumbal. Kantor berita Iran Asriran, Senin (1/1/2017), sejak aksi digelar pada Kamis (28/12) sampai hari terakhir tahun 2017 yakni Minggu (31/12), sedikitnya 16 orang tewas.
Selain itu, selama bentrokan, sebanyak 377 demonstran telah ditangkap, termasuk 200 orang di ibu kota Teheran. Operasi penangkapan juga dilakukan di sejumlah kota, di antaranya Arak, Isfahan, dan Robat Karim.
Baca Juga: Pajak Lampaui Target, Anies Tasyakuran
Demonstrasi Iran ini dimulai di Mashhad, kota terbesar kedua di Iran dan salah satu kota agamis dan spiritual negara tersebut. Dari Mashhad, protes menyebar ke Nishapur, Shahrud, Kermenshah, Qom, Rasht, Yazd, Qazvin, Zahedan, Ahvaz, dan kota-kota lainnya.
Awalnya, aksi ini dimotori oleh mahasiswa sayap kiri dan rakyat miskin Iran. Mereka, terutama mahasiswa Universitas Teheran, meneriakkan slogan-slogan protes terhadap kondisi perekonomian warga yang semakin terpuruk.
Rouhani dan Neoliberalisme
Seorang aktivis sayap kiri yang berpartisipasi dalam aksi di Mashhad kepada Iran Wire, mengatakan demonstrasi itu digalang untuk memprotes dan mendesak pemerintah mengganti format kebijakan perekonomian yang dinilai hanya menguntungkan kaum kaya.
“Situasi perekonomian rakyat semakin terpuruk, semakin dimiskinkan. Ini bukan hal yang mengejutkan, karena kebijakan neoliberal Presiden Hassan Rouhani sudah bisa dipastikan bakal menyengsarakan,” tutur perempuan yang tak mau namanya disebutkan itu, Senin (1/1/2018).
Baca Juga: Usai Buang Mayat Driver Grab Car, Mobilnya Dijual Rp4,5 Juta
Jauh sebelum demonstrasi itu muncul, setidaknya sejak awal tahun 2017, banyak warga Iran yang kehilangan uang investasi mereka di perusahaan-perusahaan keuangan yang bangkrut.
Sedikitnya, ada 6.000 warga yang kehilangan uangnya, terutama di Teheran dan kota lain. Mereka lantas mengorganisasikan aksi kecil-kecilan untuk melakukan protes.
Diperkirakan, ada beberapa juta orang di Iran yang melakukan demo-demo sporadis seperti ini sejak awal tahun2017. Negara dan pemerintah baru turun tangan ketika demonstrasi meluas.
Najmeh Bozorgmehr, jurnalis Financial Times yang berada di Teheran, mengatakan kebijakan ekonomi neoliberal yang dijalankan Presiden Rouhani menjadi penyebab utama situasi tersebut.
"Data perekonomian menunjukkan situasi di Iran sangat baik. Keuntungan demi keuntungan didapatkan oleh pemerintah. Tapi, keuntungan itu tak menetes ke bawah, ke masyarakat," terangnya.
Angka inflasi Iran cenderung menurun. Begitu pula grafik pertumbuhan perekonomian mereka menunjukkan kenaikan signifikan setelah tahun-tahun resesi akibat sanksi internasional.
Bisnis minyak mentah Iran di luar negeri juga mengalami peningkatan. Terhitung sejak adanya kesepakatan mengenai proyek nuklir Iran dengan negara Barat tahun 2015, negeri para Mullah tersebut mengalami fenomena "economic bonanza".
"Namun, kehidupan rakyat menengah ke bawah terus merosot. Plus, tak tersedia banyak lapangan pekerjaan untuk kaum muda, sehingga memperpanjang barisan pemuda berpendidikan tapi pengangguran," jelasnya.
Kebijakan pemerintah yang memotong subsidi dan menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) hingga 50 persen pada Desember 2017, menambah derita dan kemiskinan warga.
"Kekhawatiran saya bukan tentang harga bensin yang lebih tinggi namun dampaknya pada hal lainnya," kata Mandana, seorang guru berusia 42 tahun di Iran.
Mandana mengakui dirinya bisa digolongkan sebagai kelas menengah dalam strata sosial berbasiskan kekuatan ekonomi i Iran.
"Tapi, kehidupan kelas menengah seperti saya juga tak lebih baik. Saya menjual mobil saya tahun lalu setelah lebih dari 20 tahun mengemudi di bawah tekanan ekonomi. Tapi saya tidak bisa menanggung lebih banyak kesulitan, dan rekening tabungan saya nol," tukasnya.
Ketika Hassan Rouhani naik ke tampuk kekuasaan sebagai presiden pada tahun 2013, ia nekat menerapkan kebijakan liberalisasi.
Kebijakan ekonomi seperti itu diyakininya mampu menjadi obat mujarab bagi beragam persoalan yang diwariskan oleh rezim-rezim populis garis keras pendahulunya dan sanksi internasional karena program senjata nuklir.
Seperti yang terjadi di negara-negara Asia dan Afrika yang mengadopsi neoliberalisme, perangkat kebijakan ekonomi Rouhani awalnya menunjukkan grafik positif.
Sejak tahun 2013 hingga tahun lalu, persentase inflasi Iran hanya sekitar 10 persen, jauh lebih rendah dari angka 45 persen yang pada era sebelumnya.
Setelah bertahun-tahun mengalami resesi, produk domestik bruto Iran bisa tumbuh sampai 6 persen. Sedangkan pengangguran kaum muda bisa ditekan pada angka 25 persen.
Pemerintah dan analis ekonomi memprakirakan, terdapat 830.000 pemuda—70 persen di antaranya lulusan universitas—diharapkan untuk bergabung dalam pasar kerja pada Maret tahun ini.
Rezim Rouhani memang mengakui masih banyak yang harus dilakukan untuk benar-benar memperbaiki perekonomian warga. Wakil Presiden Mohammad-Bagher Nobakht, Sabtu (30/12), bahkan mengatakan pemerintah perlu menginvestasikan USD20,3 miliar untuk jaringan transportasi, perumahan dan pinjaman.
Namun, masalahnya, analis menilai pemerintah tak memunyai anggaran untuk pembangunan tersebut. Alhasil, mereka memotong banyak program subsidi rakyat.
Akibatnya, warga Iran dari lapisan sosial miskin dan menengah semakin tidak puas dan menyuarakan hal itu melalui media-media sosial. Mereka terutama menyoroti perbedaan pendapatan kaum alim ulama dan pejabat dengan rakyat biasa.
Seorang ulama terkenal, Ayatollah Mohammad Taghi Mesbah Yazdi, diperkirakan akan menerima IR280 miliar tahun ini, atau delapan kali lipat dari yang dia terima satu dekade yang lalu. Uang itu didapat dari pemerintah sebagai gaji.
Pada saat yang sama, pemerintah berencana untuk memotong subsidi bulanan (IR455.000 per orang) untuk mereka yang berpenghasilan lebih dari IR7 per bulan. Ini bisa langsung mempengaruhi 30 juta orang, yang banyak di antaranya sudah berjuang untuk melewatinya. Selain itu, harga BBM diperkirakan akan naik.
Semua ini terjadi di tengah ketidakpastian besar mengenai sektor keuangan, terutama institusi kredit ilegal yang berafiliasi dengan organisasi keagamaan dan militer, seperti Garda Revolusi.
Jutaan orang Iran menyimpan uang mereka di institusi-institusi ini, yang telah menjamur selama dekade terakhir. Mereka menangani sekitar 25 persen operasi perbankan. Bank sentral Iran telah menutup beberapa tahun ini dan mendesak pihak lain untuk meningkatkan transparansi. Banyak yang takut akan ada kebangkrutan dan tabungan mereka akan hilang.
Kaum Oposan
Ketimpangan perekonomian itu tampak jelas dalam slogan-slogan yang digunakan oleh demonstran: “Jangan habiskan uang kami di Suriah, Gaza, dan Lebanon”; atau “Rakyat miskin seperti pengemis”.
Slogan yang lain juga termasuk: “Tinggalkan Suriah dan lihatlah kondisi kami”; “Bukan Gaza, atau Lebanon, hidupku untuk Iran”; “Hezbollah terkutuk”; “Kami tidak ingin republik Islam; “Republik Iran yang merdeka dan bebas”; dan, “Rakyat mulai mengemis”.
Tak diragukan lagi, otoritas dari dua sayap politik di Iran mengharapkan insiden meledak, menurut bocoran informasi dari institusi intelijen dan keamanan mereka.
Meski begitu, mereka memilih untuk tak mengganggu protes masyarakat dan mengizinkan mereka menyuarakan ketidakpuasan mereka akan kondisi ekonomi.
Reformis dan Konservatif jadi target
Pada unjuk rasa kali ini, berlawanan dengan yang sebelumnya terjadi, terutama pada demonstrasi besar-besaran tahun 2008 yang menaikkan kelompok sayap reformis di Iran.
Kekinian, mahasiswa kiri maupun rakyat miskin menyerang baik kelompok reformis maupun konservatif menjadi target pedemo. Kenyataan ini sempat membuat kaget otoritas dari kedua sayap, pun demikian para komentator politik.
“Kematian untuk Rouhani” teriak para demonstran terhadap presiden reformis tersebut. Sementara yang lain meneriakkan “kematian untuk diktator” yang ditujukan kepada pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Sayyid Alî Hossayni Khamenei.
Meski demikian, demonstrasi ini telah meraih dimensi politis, dan berubah menjadi panggung yang tak disangka-sangka oleh otoritas. Untuk alasan ini, dengan menyebarnya demonstrasi ke seluruh penjuru negeri, kedua sayap pemerintahan dan konservatif saling menyalahkan, dan mengaku tak terkait dengan insiden yang terjadi.
Pledoi Pemerintah
Wakil Presiden Pertama Iran Eshaq Jihangiri menuding, isu-isu ketimpangan ekonomi yang disuarakan mahasiswa dan warga miskin “ditunggangi” oleh pihak asing dan kekuatan politik oposan dalam negeri.
“Permasalahan ekonomi digunakan sebagai alasan sementara sesuatu yang lain, di balik tirai, sedang berlangsung.”
The Iran–harian milik pemerintahan Hassan Rouhani –juga berkata dalam artikel yang dicetak di halaman utama, Minggu akhir pekan lalu: “Beberapa orang berpikir publik adalah mainan yang bisa digunakan untuk mencapai keinginan pribadi.”
Sementara Hossein Shariatmadari, politikus sayap konservatif dan pemimpin koran Keyhan berkata: “Penderitaan orang-orang karena mata pencaharian, adalah hasutan baru para pembuat onar.”
Pasukan Garda Revolusi juga berkata: “Beberapa kelompok menginginkan peristiwa hasutan baru.”
Para demonstran juga mengetahui, aksi-aksi mereka coba “ditunggangi” oleh kelompok politik yang memunyai agendanya sendiri.
“Kami tahu ada bagian dari rezim ini yang berada di balik protes-protes kami. Tapi, bagaimana pun juga, jeritan dan rasa lapar rakyat adalah riil terjadi,” tegas mahasiswi kiri Teheran.