Suara.com - Sejumlah analis menilai pilkada serentak tahun 2018 adalah momen bagi partai politik mengatur strategi kemenangan pada pemilu presiden 2019. Bangunan koalisi di daerah tak lain adalah modal politik yang dikumpulkan setiap partai agar 2019 tidak gigit jari.
Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti mempunyai penilain berbeda. Bagi dia, koalisi di daerah tak melulu soal pilpres 2019. Ada bangunan koalisi di daerah yang murni untuk kepentingan daerahnya, bukan untuk kepentingan politik di tingkat nasional.
Ray mencontohkan kalau seandainya Partai Golkar dan Demokrat koalisi mengusung pasangan Dedi Mulyadi dan Deddy Mizwar, sementara PDI Perjuangan mengusung kandidat sendiri, belum tentu dukungan Golkar kepada Joko Widodo di pilpres 2019 terpengaruh.
"Jadi itu nggak berkaitan langsung dengan kepentingan nasionalnya, kalaupun ada, paling dinegosiasi yang selanjutnya," kata Ray kepada Suara.com, Senin (1/1/2018).
Ditingkat nasional, Golkar tak akan berpaling dari Joko Widodo yang merupakan kader PDI Perjuangan. Sedangkan Demokrat, belum tentu mendukung Jokowi.
Menurut Ray berbeda dengan koalisi Gerindra, PKS, dan PAN. Tiga partai ini membangun koalisi daerah dan akan tetap dipertahankan pada Pilpres 2019. Untuk sementara nama yang paling dimungkinkan melawan Jokowi yaitu Ketua Umum Gerindra, Prabowo Subianto.
"Koalisi Golkar-Demokrat di pilkada Jabar, untuk nasionalnya tidak akan berpengaruh. Golkar ya pilih Jokowi. Mungkin Demokrat akan pada siapa di waktu yang akan datang. Mungkin di tingkat nasional demokrat akan koalisinya dengan tiga partai tadi, ya bisa jadi," tutur Ray.
Tak hanya di Jawa Barat, konstelasi politik seperti ini terjadi. Hampir di semua daerah, koalisi politik hanya berlaku di daerah itu saja, kecuali koalisi Gerindra, PKS, dan PAN.
"Makanya bacaannya itu, ini bukan keseluruhan. Ini bacaan lokal per lokal, kecuali yang tiga partai itu memang ikrarnya sudah sampai kepada tingkat nasional," kata Ray.