"Hal berbeda ketika Malala ditembak oleh Taliban. Gordon Brown (mantan Perdana Menteri Inggris) memulai petisi global bertajuk 'I am Malala'. Sementara Unesco PBB meluncurkan kampanye 'Stand Up for Malala'" cecarnya.
"Tapi ketika Ahed ditangkap secara brutal oleh Israel? Kita tidak melihat kampanye #IamAhed atau #StandUpForAhed. Tak satu pun dari kelompok feminis dan HAM atau tokoh politik mengeluarkan pernyataan yang mendukungnya atau menegur Israel. Tidak ada yang mengumumkan 'Hari Ahed'. Ahed juga sebenarnya pernah ditolak masuk AS untuk berkampanye kemerdekaan Palestina," jelasnya.
Penulis buku "Forging the Ideal Educated Girl: The Production of Desirable Subjects in Muslim South Asia" itu mengatakan, Ahed sebenarnya seperti Malala, yakni sejarah substansial kaum perempuan muda melawan ketidakadilan.
Ahed, terus Shenila, rutin menggelar aksi protes atas pencurian lahan dan air milik Palestina oleh Israel.
Bahkan, Ahed juga mengorbankan pribadinya. Hingga kekinian, Ahed sudah kehilangan paman dan sepupunya akibat pendudukan Israel. Ibu, ayah, dan saudara laki-lakinya juga sudah berkali-kali ditangkap dan dianiaya Israel.
"Ibu Ahed pernah tertembak di kaki. Ahed pada usia masih sangat belia juga terekam menggigit tangan militer Israel yang menyeret saudara laki-lakinya. Video itu viral dua tahun lalu, tapi tak ada yang peduli," tuturnya.
Menurut Shenila, ada sejumlah faktor yang membuat kaum feminis, pembela HAM, politikus, maupun tokoh dunia, cenderung diam terhadap kasus Ahed.
Pertama, 'membisunya' dunia terhadap Ahed karena terdapat kecenderungan publik melegalisasi kekerasan yang dilakukan oleh negara—dalam kasus ini adalah Israel yang diakui sebagai negara sah oleh dunia Barat.
Baca Juga: Berenang Usai Makan Picu Kram Perut dan Tenggelam, Benarkah?
Publik barat, kata Shenila, cenderung peduli dan marah kalau seseorang menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh aktor nonnegara seperti Taliban atau Boko Haram.