Suara.com - Uskup senior Gereja Inggris mengkritik umat Kristen evangelis konservatif di Amerika Serikat, yang mendukung dan tak pernah mengecam kebijakan Presiden Donald Trump.
Paul Bayes, Uskup Liverpool, mengatakan sikap diam umat Kristen AS tersebut membawa kehancuran kaum Evangelis dunia.
"Sebab, Yesus tak pernah sekali pun mengajarkan umatnya untuk mendukung pemimpin yang zalim. Tak satu pun ayat dalam Injil yang meminta kita mendukung sistem memarjinaliasi kaum miskin dan rasis," tegas Uskup Bayes, seperti dilansir The Guardian, Kamis (28/12/2017).
Baca Juga: Twitter Hapus Akun Gadis Palestina yang Tampar Militer Israel
Uskup Bayes mengakui, ada kelompok Kristen yang mendukung politik populis sayap kanan seperti Trump. "Tapi, adakah dalil Kristianitas yang membenarkan hal itu?" tukasnya.
Ia menekankan, tidak semua umat Kristen menjadi pendukung Trump.
"Banyak umat Kristen yang terus memberitakan Injil ke khalayak secara benar, walaupun hal itu berarti menantang pemimpin politik yang ada," imbuhnya.
Bulan November 2017, Uskup Agung Canterbury, Justin Welby, juga melontarkan kritik terhadap kaum Protestan AS yang mendukung politik konservatif Trump.
"Aku sungguh-sungguh tak habis mengerti, bagaimana mereka bisa mendukung Trump," cecarnya.
Baca Juga: Tugas Anies dan Sandiaga pada Malam Tahun Baru Nanti
Untuk diketahui, berdasarkan survei Pew Research Center Washington, 80 persen warga AS yang mengidentifikasi dirinya sebagai umat Kristen Evangelis kulit putih memilih Trump dalam Pemilu 2016.
Sementara survei kekinian lembaga itu menyebutkan, 75 persen umat Kristen Evangelis AS menyatakan puas terhadap seluruh kebijakan Trump.
Trump, sejak menjadi Presiden AS, banyak mengeluarkan kebijakan kontroversial. Satu di antaranya adalah, memberlakukan pelarangan terhadap warga-warga sejumlah negara Timur Tengah yang mayoritas Muslim untuk memasuki wilayah AS. Ia mengatakan, kebijakan itu untuk melindungi warga dari potensi serangan teroristik.
Terbaru, Trump juga berani mendeklarasikan pengakuan AS terhadap Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Deklarasi itu memicu konflik berdarah antara warga sipil Palestina dengan militer Israel. Aksi protes dan kecaman juga disuarakan di banyak negara Dunia.