Suara.com - Penyidik KPK memeriksa Mantan Wakil Presiden Boediono sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI). Korupsi ini menjerat mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Syafruddin Arsyad Temenggung.
Boediono diperiksa lebih 5 jam, dari pukul 09.50 WIB hingga pukul 15.38 WIB di gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Kamis (28/12/2017).
Keluar dari gedung KPK, Boediono yang ditanya mengenai pemeriksaannya dalam kasus BLBI tak banyak berkomentar. Dia mengatakan dimintai keterangan selaku Menteri Keuangan ketika SKL BLBI diterbitkan dan berujung kerugian negara.
"Saya dimintai keterangan mengenai beberapa hal yang terkait dengan masa jabatan saya sebagai Menkeu (Era Presiden Megawati Soekarnoputri)," kata Budiono.
Baca Juga: Cerita Soal Boediono ke KPK, Dia Minta Diperiksa Kasus BLBI
Namun dia enggan menjelaskan materi pertanyaan penyidik kepadanya. Menurutnya materi perkara dalam pemeriksaannya ia serahkan kepada KPK.
"Kalau substansinya, saya serahkan kepada KPK nanti untuk menyampaikan mana yang disampaikan, mana yang tidak," ujar dia.
Dia juga tak mau menjawab ketika dikonfirmasi mengenai pernyataan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Syafruddin Arsyad Temenggung yang menjadi tersangka dalam kasus ini menyebut kalau Boediono menjual aset dengan murah.
"Pokoknya substansi saya serahkan ke KPK," kata dia.
Dalam kasus ini KPK baru menetapkan Syafruddin sebagai tersangka. KPK juga sudah menahannya pada, Kamis (21/12/2017) lalu.
Syafruddin sendiri mengatakan, penetapan dirinya sebagai tersangka tidak melalui pertimbangan yang lengkap terkait penerbitan surat Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul Nursalim oleh BPPN. Sjamsul Nursalim merupakan pemilik BDNI.
Baca Juga: Boediono Diperiksa KPK untuk Kasus BLBI
KPK sudah menerima hasil audit investigatif Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait kerugian negara yang diakibatkan oleh kasus tersebut. BPK menemukan kerugian negara dari kebijakan tersebut adalah Rp4,58 triliun dari total kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN sebesar Rp4,8 triliun
Hasil audit investigatif BPK menyimpulkan adanya indikasi penyimpangan dalam pemberian SKL kepada BDNI, yaitu: SKL tetap diberikan walaupun belum menyelesaikan kewajiban atas secara keseluruhan.
Nilai Rp4,8 triliun terdiri dari: Rp1,1 triliun yang dinilai suistanable dan ditagihkan kepada petani tambak. Sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restukturisasi yang menjadi kewajiban obligor yang belum ditagihkan.
Dari nilai Rp1,1 triliun itu kemudian dilelang oleh Pusat Pemulihan Aset dan didapatkan Rp220 miliar. Sementara sisanya Rp4,58 triliun menjadi kerugian negara. Sebelumnya, KPK menduga kerugian negara yang disebabkan oleh kasus BLBI hanya Rp3,7 triiun. Namun, ternyata angka tersebut bertambah 0,88 triliun sehingga menjadi Rp4,58 triliun.
Dalam kasus ini, Syafrudin diduga menyalahgunakan kewenangan terkait penerbitan SKL tersebut. Perbuatan Syafruddin juga diduga menguntungkan sejumlah pihak dan merugikan keuangan negara mencapai Rp4,58 triliun.
Akibat perbuatannyan dia disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP.