Tugasnya macam-macam, ada yang mengarahkan jemaat untuk mengikuti barisan. Ada yang ikut polisi mengatur lalu lintas. Sebagian membantu orang yang hendak menyebrang.
Saat ekaristi Malam Natal 1 dimulai (malam itu ada tiga kali misa), beberapa di antaranya duduk melepas lelah dengan ditemani lantunan kidung Natal yang memberambat pelan di udara. Menimbulkan perasaan kudus yang sulit dimengerti.
Di saat yang bersamaan, di kejauhan terdengar azan magrib memanggil-manggil umat Islam agar segera bersembahyang.
Sejurus kemudian, seorang anggota Banser mengajak rekannya untuk menunaikan salat. “Ayo salat,” ucapnya sembari berlalu.
Baca Juga: 2018, Malware Lebih Ganas Diprediksi Muncul
Tak ada ketegangan, orang-orang yang beragama Islam bisa santainya turut serta menjaga perayaan hari kelahiran Yesus Sang Penyelamat. Toleransi benar-benar terjadi dan bukan sekedar omongan kaum elit.
Apa yang terjadi di luar gereja, nyatanya juga sesuai dengan tema Natal yang diusung Paroki Santo Antonius Padua, yakni Mengalami Terang Kelahiran Kristus Dalam Hidup Menggereja dan Berbangsa.
Ketua Panitia Natal di gereja itu, Seraphina Dewanti mengatakan tema tersebut dipilih untuk mengajak umat memandang perayaan Natal bukan sebagai ritual yang diperingati rutin setiap akhir tahun.
“Tujuannya adalah membantu umat memahami kedosaan dirinya dan masyarakatnya; membantu umat mengalami kehadiran Allah yang karena cinta kasih-Nya menyelamatkan kita; serta mengajak umat untuk memahami kembali arti keberagaman di Indonesia,” ucap Seraphina.
Haryono, salah satu anggota Paksi Katon yang berjaga di Paroki Santo Antoinus Padua, Kotabaru mengatakan, organisasi tempatnya bernaung tidak pernah sama sekali membedakan manusia berdasarkan keyakinan yang diyakininya.
Baca Juga: Pemerintah Evaluasi Layanan Kereta Api Bandara Soekarno - Hatta
“Paksi Katon tidak pernah membedakan agama. Setiap tahun kami selalu diajak kepolisian mengamankan Natal. Kami ingin menunjukkan Jogja adalah kota yang sangat toleran akan keberagaman,”