Partai Golongan Karya sejak awal mendeklarasikan diri sebagai partai pendukung Presiden Joko Widodo pada pemilu presiden tahun 2019. Bahkan, melalui forum musyawarah nasional luar biasa yang melahirkan ketua umum baru, Airlangga Hartarto, partai berlambang pohon beringin kembali menegaskan dukungan itu.
Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Siti Zuhro menilai hubungan antara Jokowi dan Golkar murni politik, keduanya sama-sama ambil keuntungan dari kerjasama.
"Hubungannya sangat politik, artinya political bargainnya ini sama-sama menguntungkan secara politik," kata Zuhro kepada Suara.com, Rabu (27/ 12/2017).
Menurut Zuhro satu sisi Jokowi saat ini tengah mencari dukungan politik sebesar-besarnya sehingga ia harus pandai-pandai memainkan peran secara politik, termasuk bermain di dua kaki, yakni PDI Perjuangan dan Golkar.
Di sisi lain, Partai Golkar membutuhkan seorang figur untuk mendongkrak elektabilitas yang dalam beberapa bulan terakhir kian tergerus karena gejolak internal, baik isu korupsi yang menjerat mantan ketua umum Setya Novanto maupun isu adanya faksi-faksi di internal organisasi.
"Golkar merasa dalam posisi yang tadi itu, terjepit dan dia tidak punya banyak alternatif, tidak punya waktu untuk, mempertahankan saja, 14 persen suara seperti pemilu 2014," ujar Zuhro.
Zuhro mengatakan tak mudah bagi Golkar untuk meraup suara tinggi di pemilu 2019. Terlebih partai ini tidak memiliki figur internal yang bisa dijual kepada publik untuk mendongkrak elektabilitas. Sebab itu, dukungan pada Jokowi diharap dapat meraih keuntungan politik.
"Jadi dalam posisi yang seperti itu memang tidak ada sosok yang bisa membuat Golkar menggantungkan diri. Golkar kan terbiasa seperti itu, zaman Pak Harto ya (patronnya) Pak Harto, zaman pak Habibie, ya pak Habibie, zamannya Pak Jusuf Kalla jadi wakil SBY, ya kepada Pak Jusuf Kalla. Akhirnya posisi nilai tawar politiknya, bargainingnya itu tinggi," tutur Zuhro.
Kebiasaan Golkar menggantungkan diri kepada patron tertentu yang dari internal sendiri berakhir saat Golkar dipimpin oleh Aburizal Bakrie. Sejak saat itu, Golkar tak punya figur yang dapat dijadikan pegangan, bahkan saat ditimpa masalah dualisme kepemimpinan.
"Oleh karena itu Golkar ini berusaha mencari sosok patron yang dinilai akan mendongkrak suara. Mereka asumsinya seperti itu, tapi kan biar bagaimanapun nggak bisa menjadi prefrensi dari pemilih di Indonesia, dengan posisi Pak Jokowi yang bukan kader," ujar Zuhro.
"Jadi pragmatisme dan oportunisme yang seperti ini akan tinggal asumsi-asumsi saja akhirnya," tambah Zuhro
Perubahan perilaku pemilih juga terlambat disadari partai, bukan saja Golkar, melainkan juga partai-partai lain.
"Kejadian-kejadian perubahan sosial, perubahan politik dua tahun terakhir, sejatinya akan menciptakan memori kolektif pemilih. Itu juga bergeser dan itu akan berpengaruh pada perilaku pemilih," kata Zuhro.
Itu sebabnya, tak ada jaminan dukungan masyarakat pada Jokowi akan menguntungkan Partai Golkar secara politik, terlebih Jokowi bukan kader Partai Golkar.
"Political bargain yang dimiliki Golkar hari ini di bawah PDIP. Karena biar bagaimanapun Pak Jokowi adalah PDIP. Kalaupun Golkar mendukung yang mendukung saja," kata Zuhro.