Suara.com - Irhami dan sejumlah tokoh masyarakat di Meulaboh, memutuskan membacakan surah Yasin di tepi pantai, sesaat setelah dilanda gempat dahsyat berkekuatan 8,2 SR, 13 tahun silam.
Mereka berharap Tuhan melindungi segenap keluaga dan handai tolan. Namun, selang 15 menit sejak mulai merapal surah tersebut, Irhami tak kepalang kaget melihat air laut di pinggir pantai itu surut ketengah.
Belum sempat ia mengatasi rasa kaget, Irhami dkk kembali dikejutkan dengan fenomena lain: air laut yang surut kembali pasang, membentuk gelombang amat tinggi yang memburu mereka.
Baca Juga: Cara Joget Bocah Ini saat Latihan Lagu Natal Bikin Ngakak
Irhami dan warga lain panik. Mereka lari berhamburan ke arah desa. Tak lama kemudian, bencana dahsyat kembali menerpa mereka. Bencana yang kekinian disebut sebagai "Tsunami Aceh tahun 2004".
Mereka berlarian ke Masjid Baitul Atiq, Desa Padang Surahet, Meulaboh. Rumah-rumah, kendaraan, ladang, dan lainnya luluh lantak diserbu tusnami. Masjid itu tetap brdiri, melindungi Irhami dan warga lain.
"Setiap tahun pascatsunami kami adakan kenduri di sini. Sangat banyak nilai sejarah yang membuat kami tidak bisa jauh dari masjid ini, walaupun kondisinya masih seperti baru kemarin kena gelombang tsunami,"kata T Irhami (48) seorang warga di Meulaboh, Selasa (26/12/2017).
Setelah gelombang tsunami surut, pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)—yang ketika itu masih berseteru—bersepakat bahu-membahu membangun kembali Negeri Serambi Mekah itu dari reruntuhan. Kata damai setelah berpuluh tahun berperang, akhirnya tercapai.
Bantuan pun berdatangan ke Aceh. Tak hanya dari daerah lain, tapi juga masyarakat internasional. Aceh yang dulunya sangat ditutup oleh pemerintah, menjadi sangat terbuka untuk dunia internasional.
Baca Juga: Gaston Sibuk Cari Akta Cerainya dengan Jupe, Buat Apa?
Militer asing berdatangan membantu evakuasi warga. Bantuan dana, makanan, pakaian, obat-obatan, dan lainnya, juga membanjir di Aceh dari berbagai negara.
Bahkan, Israel yang tak memunyai hubungan diplomatik dengan Indonesia karena menjajah Palestina juga ikut membantu memberikan bantuan ke Aceh.
From Israel With Love
"Israel satu dari sedikit negara yang kali pertama memberikan bantuan kepada korban tsunami Aceh," tutur Steve Stein, pebisnis medis sekaligus penggalang dana kemanusiaan Israel yang menjadi promotor bantuan Israel untuk Aceh ketika diwawancarai Jerusalem Post, tahun 2010.
Stein menuturkan, warga Israel ketika itu memutuskan membantu Aceh karena menjadi daerah yang mendapat dampak paling mematikan dari gelombang tsunami di Asia tahun 2004.
Korban tsunami di Aceh sendiri ketika itu tercatat paling tertinggi kalau dibandingkan dengan Srilanka maupun Thailand. Korban di Aceh diestimasi mencapai 170.000 orang.
"Dua pekan setelah tsunami melanda Aceh, kami berhasil mengirimkan 75 ton bantuan kemanusiaan ke Indonesia," tuturnya.
Stein mengakui, ia dan kaum Yahudi Israel saat itu sempat ragu mengirimkan bantuan. Sebab, mereka mengkhawatirkan bantuan tersebut tak sampai ke Indonesia yang tak mau mengakui kedaulatan Israel.
"Indonesia adalah negara dengan masyarakat Muslim terbesar. Mereka juga tak memunyai hubungan diplomatik dengan kami. Tapi, kami tak memedulikan hal itu. Kami ikhlas membantu saudara-saudara kami. Kami menolong atas nama cinta," terangnya.
Tak hanya Yahudi Israel, kaum Yahudi di Amerika Serikat yang tergabung dalam American Jewish World Service (AJWS), juga menggalang bantuan kemanusiaan untuk ACeh.
AJWS bahkan lebih cepat melakukan penggalangan bantuan. Dalam laporan "Tsunami Accountability Report 2006" yang dibuat USAID dan InterAction, AJWS sudah mengorganisasikan bantuan untuk Aceh sejak 36 jam setelah daerah itu diterpa tsunami.
AJWS juga dilaporkan memberikan asistensi dan memberikan program bantuan pembangunan infrastruktur baru di sejumlah daerah di Aceh pascatsunami.
Belajar ke Tel Aviv
Steve Stein menuturkan, beberapa tahun setelah tsunami Aceh, sejumlah dokter Indonesia belajar cara menangani korban dalam jumlah besar ke Israel.
"Berkaca dari pengalaman tsunami Aceh, Indonesia memerlukan pelatihan tenaga medis yang mampu beroperasi menangani pasien dalam jumlah besar. Israel memunyai kemampuan medis seperti itu," terangnya.
Tahun 2006, tokoh Indonesian Disaster Medical Relief Committe sekaligus presiden asosiasi ahli bedah, Profesor Aryono D Pusponegoro diundang Magen David Adom ke Israel.
Magen David Adom "Bintang Daud Merah" (MDA) adalah palang merah khas Israel—seperti "Bulan Sabit Merah".
"Selama kunjungannya, Pusponegoro menghadiri latihan nasional yang menyimulasikan serangan teror besar dengan korban jiwa, yang melibatkan partisipasi polisi, petugas pemadam kebakaran, militer, angkatan udara dan layanan ambulan darurat MDA," kata Stein.
"Itu sukses besar," tambahnya. "Dan kami memutuskan untuk mulai mempromosikan usaha serupa juga."
Pada tahun 2008, 23 dokter dari seluruh Indonesia tiba di Tel Aviv untuk loka karya selama dua minggu bersama personel MDA tentang "pengelolaan insiden multi-Korban."
Selama loka karya, para dokter mengetahui tentang layanan medis Israel, serta metode baru untuk memberikan perawatan medis lebih baik dan lebih cepat kepada pasien .
Dari sana, MDA mulai meningkatkan kerja sama dengan layanan medis di Indonesia. Pada tahun yang sama, kedua pihak menandatangani sebuah kesepakatan di Tel Aviv dengan perwakilan medis Indonesia yang akan meningkatkan keterlibatan MDA dalam melatih paramedis Indonesia-baik di Israel maupun di Indonesia.